JAM TERBANG
Konon, selain kematian, beberapa hal yang kerap ditakuti orang salah satunya adalah berbicara di depan umum. Benar nggak begitu? Banyak orang yang merasa dak-dik-duk, gemetar, bingung setengah mati ketika diminta atau punya tugas harus berbicara di depan umum. Pertanyaannya adalah, apakah perasaan demikian itu wajar? Untuk membahas ini mari kita perhatikan hal-hal di bawah ini:
Pertama, siapa pun orangnya, mau dia pembicara publik sekelas Hermawan Kertajaya, Rheinald Khasali, Andi Wongso, atau pak ketua RT di tempat kita, memiliki perasaan yang bisa disebut dengan bahasa dak-dik-duk ketika hendak berbicara di depan umum. Hanya memang kadar dan durasinya berbeda. Selain itu, jam terbang juga ikut andil besar di sini.
Orang seperti Hermawan Kertajaya dan lain-lain tetap merasa dak-dik-duk tapi kadarnya mungkin sedikit, durasinya hanya berlangsung beberapa detik. Dengan pengalamannya dalam menghadapi publik selama ini (jam terbang), rasa dak-dik-duk itu segera bisa dialihkan menjadi hal-hal yang dapat menghangatkan suasana.
Kedua, penguasaan materi. Kalau kita tiba-tiba ditodong untuk berbicara tanpa persiapan, ini akan berpotensi membuat kita gelagapan. Bedanya, kalau kita sudah punya jam terbang tinggi, situasi dan kondisi demikian bisa kita cairkan dengan cepat. Tapi bila tidak, ini bisa membuat kita stress yang ditandai dengan keinginan untuk ke toilet, sakit perut, jantung berdetak terlalu cepat dan lain-lain.
Begitu juga kalau kita dimintai berbicara tentang hal-hal yang kita sendiri tidak menguasainya. Meski kita sudah diberi waktu agak cukup untuk menyusun persiapan, tetapi kalau memang itu bukan bidang kita, mau tidak mau ini kerap membikin kita bingung. Untuk orang yang sudah punya jam terbang tinggi, kebingungan ini biasanya bisa diatasi dengan penyiasatan-penyiasatan kreatif.
Ketiga, audien dan suasana. Banyak orang yang merasa minder, dak-dik-duk atau bingung ketika harus berbicara di depan orang yang misalnya saja: lebih senior, lebih tua, lebih pintar, atau lebih segala-galanya. Persepsi kita tentang audien juga ikut mempengaruhi. Kalau kita mempersepsikan audien sebagai seperti macan, sementara kita mempersepsikan diri sendiri sebagai seperti kucing, ya mana mungkin ada kucing yang tidak minder menghadapi macan. Jadi, baik fakta dan persepsi juga ikut berperan.
Begitu juga dengan suasana. Setiap suasana baru membutuhkan adaptasi baru. Ini berlaku untuk semua manusia. Orang yang biasa menghadapi massa dalam jumlah kecil, butuh adaptasi baru ketika diminta untuk berbicara di depan massa yang jumlahnya banyak. Orang yang biasa mengajar di depan siswa atau mahasiswa, tetap butuh adaptasi baru ketika diminta untuk berbicara di depan masyarakat yang tidak ada segmentasinya. Orang yang biasa berbicara dalam suasana yang alami, tetap butuh adaptasi baru ketika diminta berbicara dalam suasana yang benar-benar sophisticated, misalnya disorot kamera, direkam, ditayangkan melalui jaringan teve, dan lain-lain.
Jadi, merasa dak-dik-duk saat baru sekali atau dua kali berbicara di depan umum, saat menghadapi audien dengan segmentasi baru atau saat menghadapi suasana baru, itu semua wajar. Persiapan, penguasaan materi dan pengalaman menjadi kata kunci yang membedakan apakah kewajaran itu mengganggu atau tidak.
Perlu disadari bahwa sebagian besar kita punya kepentingan untuk meningkatkan kemampuan dalam hal berbicara ini. Ini terlepas apakah kita menjadikan kemampuan ini sebagai profesi (public speaker) atau tidak. Kenapa? Ini karena banyak proses pekerjaan yang menuntut kita harus berbicara di depan umum (orang banyak), misalnya presentasi, mengajar, mengarahkan, melaporkan, mendiskusikan, dan lain-lain. Karena itu, kalau membaca hasil survei CCL (Researh Summary Report, 2003), ada 45 % responden yang menyatakan ingin atau sangat ingin mendapatkan pengembangan di sejumlah area, termasuk salah satunya adalah public speaking atau presentasi.
PRINSIP, GAYA & ETIKA
Ada sedikitnya tiga hal yang perlu kita bedakan saat hendak berbicara di depan umum. Ketiga hal itu adalah: a) prinsip, b) gaya dan c) etika. Ketika disebut prinsip, maka yang dimasudkan adalah serangkaian kaidah yang harus kita jalankan atau taati. Kalau tidak, ini bakal menciptakan konsekuensi salah-benar. Beberapa prinsip umum yang perlu kita taati antara lain:
Pertama, visualisasi. Ini masuk dalam persiapan. Visualisasi adalah membayangkan materi yang kita sampaikan, sistematika penyampaian, respon yang mungkin timbul dari audien, suasana yang kita harapkan untuk terjadi, dan lain-lain. Untuk orang yang sudah punya jam terbang tinggi, visualisasi ini barangkali cukup dilakukan dengan mengandalkan naluri atau alam bawah sadarnya. Pikirannya sudah terprogram untuk melakukan visualisasi secara otomatik (reflek).
Tapi, untuk pemula atau yang belum punya jam terbang tinggi, visualisasi ini perlu dilakukan dengan cara yang khusus. Banyak yang menyarankan agar ditulis, dihafalkan, dipraktekkan, dan dilakukan gladi kotor sampai gladi resik di tempat tertentu, misalnya kamar mandi, ruangan sepi atau kamar tidur. Terserah cara apapun yang pas buat anda, tetapi prinsipnya visualisasi ini harus dilakukan.
Bahkan ada pengalaman saya yang mungkin bisa dijadikan pelajaran. Dalam sebuah acara, saya kebetulan duduk di samping pembicara utama. Semua orang yang hadir si situ tahu kalau pembicara ini sudah punya jam terbang tinggi. Tapi, lima-sepuluh menit sebelum naik podium, beliau tetap membutuhkan waktu untuk melakukan visualisasi ulang. Ini yang sudah punya jam terbang tinggi, apalagi yang belum.
Kedua, tahu audien. Ini juga prinsip. Kenapa? Tahu audien akan membuat kita tahu materi yang bermanfaat untuk mereka. Tidak tahu audien akan membuat kita hanya berpikir untuk diri kita sendiri, padahal kita harus berbicara di depan umum. Secara prinsip dapat dikatakan bahwa orang akan tertarik pada hal-hal yang memang bermanfaat untuk dirinya. Kalau kita hanya berbicara tentang hal-hal yang hanya menarik untuk kita tetapi tidak menarik buat mereka, 'wah' ini bisa gawat.
Tahu audien akan membuat kita tahu strategi yang pas buat kita. Ada strategi yang berbeda antara kita harus berbicara di depan orang yang lebih atas, yang sama / selevel dan yang lebih bawah. Strategi ini akan kita temukan kalau kita tahu siapa audien kita, kelompok mana audien kita, orang seperti apa audien kita, dan seterusnya.
Ketiga, kualitas diri. Kualitas diri ini tentu luas pengertiannya. Saya ingin menggambarkan misalnya saja tingkat kepercayaan-diri. Agar kita bisa bicara lantang di depan orang (audien), tentu saja dibutuhkan tingkat kepercayaan-diri yang bagus. Darimana ini bisa digali? Kepercayaan diri ini tidak bisa dibuat-buat. Seperti yang sudah kita bahas di sini, kepercayaan diri ini terkait dengan bagaimana kita merasakan, menilai diri sendiri dan bukti prestasi yang kita miliki. Artinya, semakin bagus kualitas diri kita (dalam pengertian yang seluas-luasnya), akan semakin bagus pula kualitas kita dalam berbicara di depan umum: lebih pede, lebih jelas, lebih kokoh, lebih siap, dan seterusnya.
Lalu bagaimana dengan gaya? Gaya adalah seni bagaimana kita mendeliverikan, mempresentasikan atau mengekspresikan materi. Gaya ini biasanya terkait dengan konsekuensi enak dan tidak enak. Bagi kita yang tidak memilih profesi sebagai public speaker, gaya ini mungkin bisa penting dan bisa tidak. Gaya ini biasanya selalu berubah, tergantung pengalaman, selera, jam terbang, penguasaan, kepribadian, karakter personal, dan lain-lain.
Meski gaya ini variatif dan "suka-suka" kita memilihnya, tetapi ada semacam rambu-rambu umum yang perlu kita perhatikan. Ini antara lain:
Pertama, berbicara ngelantur kemana-mana. Ibarat masakan, terkadang kita butuh bumbu-bumbu yang ikut menambah kenikmatan dan kelezatan. Tapi bila bumbunya ini terlalu banyak, nasib menunya bisa lain. Begitu juga dengan berbicara. Terkadang kita butuh bumbu-bumbu, misalnya contoh, data, dalil, humor dan lain-lain. Tapi bila itu kebanyakan, ini akan mengalahkan materi utama yang ingin kita sampaikan. Apalagi misalnya sampai ngelanturnya itu mengkorupsi waktu orang lain. Silahkan bergaya apa saja tetapi jangan sampai ngelantur.
Kedua, berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat. Terlalu cepat dapat membuat audien tidak mengerti dan tidak bisa mengikuti jalan pikiran dan materi yang kita paparkan. Jika ini menyangkut angka atau data penting, ini bisa gawat. Begitu juga kalau terlalu lambat. Ini bisa membuat orang ngelamun atau kurang semangat mengikuti kita. Idealnya, kita perlu memperkirakan antara 80-100 kata dalam satu menit.
Ketiga, suara terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jangan meninggikan suara sampai dapat menganggu audien tetapi juga jangan terlalu merendahkan suara sampai tidak jelas didengar. Sebisa mungkin, kita perlu mengatur nada, irama dan tekanan. Artinya, ada beberapa hal yang perlu kita keraskan, datarkan dan rendahkan. Untuk yang sudah punya jam terbang tinggi, ini biasanya terjadi secara otomatik. Tetapi untuk pemula, ini perlu kita latih dalam visualisasi.
Keempat, terlalu banyak gerak atau terlalu diam. Gaya apapun yang kita pilih, itu suka-suka kita. Tetapi, hendaknya kita perlu menghindari praktek "overacting" atau "underacting" (terlalu diam) sehingga terkesan seolah-olah tidak ada interaksi antara kita dengan audien. Karena itu ada saran agar kita bisa menatap satu persatu dalam hitungan detik supaya muncul interaksi.
Kelima, terlalu rumit atau terlalu banyak poin yang penting. Gaya apapun yang kita pilih hendaknya perlu kita desain agar dapat membantu menyederhanakan persoalan yang kita sampaikan. Jika ada istilah-istilah asing yang tidak umum, kita pun perlu menjelaskannya dengan bahasa yang kira-kira bisa dipahami oleh audien. Ini bisa kita lakukan dengan contoh, analogi, penjelasan dari kita, dan lain-lain.
Begitu juga dengan poin-poin yang kita anggap penting itu. Belum tentu apa yang kita anggap penting itu akan penting juga bagi audien. Belum tentu apa yang penting bagi kita dan audien akan dianggap penting oleh mereka. Karena itu perlu ada pengarahan dan penyiasatan yang didukung oleh gaya bicara. Jika kita harus menjelaskan persoalan yang banyak sekali poin-poin yang penting, ini butuh metode yang kira-kira bisa diikuti, misalnya dengan nomor: pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya atau dengan istilah seperti judul, sub judul, sub-sub judul, dan lain-lain.
Selanjutnya adalah etika. Etika ini terkait dengan kepantasan dan ketidakpantasan; kesopanan dan ketidaksopanan. Beberapa hal yang sering dianggap etika umum dalam berbicara di depan publik itu antara lain:
Pertama, salah menyebut orang atau menyebut orang dengan sebutan / sapaan yang berpotensi dirasakan tidak enak, misalnya: ibu yang gendut itu, mas yang kurus, bapak yang berkacamata, mbak yang berkulit hitam, dan seterusnya. Akan lebih safe kalau kita menyebut namanya saja ditambah dengan kata-kata yang memuliakan, seperti: pak, bu, mas, dan seterusnya.
Kedua, memberikan contoh yang menyinggung atau menyakiti orang, terutama dari audien. Pilihlah contoh, anekdot atau kiasan yang kira-kira dapat membantu penjelasan kita, tetapi juga perlu kita pikirkan efeknya bagi orang lain.
Ketiga, menganggap audien sebagai orang yang bodoh dan menganggap kita lebih jago. Ini biasanya tidak kita ucapkan lewat mulut, tetapi kita praktekkan melalui tanggapan atau penjelasan. Di depan orang banyak, pertanyaan seperti apapun perlu kita tanggapi secara bijak dan dengan logika-logika yang positif. Untuk menekan perasaan demikian, hindari motif-motif untuk menonjolkan diri, misalnya ingin dianggap orang hebat, orang pintar, dan lain-lain. Batasi pikiran untuk hanya berkesimpulan bahwa di situ kita hanya menjelaskan sesuatu dan bila ada yang kurang kita perbiki. Titik.
Keempat, tidak "melek sponsor". Ini biasanya digunakan untuk menyebut artis, penyanyi, mc, atau pembicara yang tidak menyebut atau mempromosikan sponsor yang menyelenggarakan acara. Meski kita bukan artis atau penyanyi tetapi akan lebih etis kalau kita mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang menurut kita telah memberikan kontribusi.
Kelima, jauhi mannerisms, seperti garuk-garuk kepala, merapikan baju, mengusap muka, hidung, telinga, melihat dasi atau sepatu, dan lain-lain. Intinya, kita perlu mengkondisikan diri se-informal mungkin tetapi perlu menghindari hal-hal kecil yang berpotensi dianggap sebagai ketabuan atau ketidakpantasan.
Terakhir, kata sejumlah pembicara yang saya simpulkan: "Jangan menanyakan honor di depan!" Honor itu kita butuhkan. Ini tentu anda juga sepakat. Tetapi masalahnya, ketika honor itu kita dahulukan, di sini muncul masalah etika.
TIP PERBAIKAN
Ada sejumlah tip yang perlu kita terapkan sebelum naik bicara. Itu antara lain:
Pertama, apakah materi yang akan kita jelaskan itu akurat atau belum. Lebih-lebih jika menyangkut soal angka atau uang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah diprotes berhari-hari karena (catatan : menurut versi pemrotes) beliau membacakan data kemiskinan yang tidak akurat.
Kedua, apakah materi yang akan kita sampaikan itu sudah jelas atau belum. Jelas di sini artinya menutup celah kesalahpahaman (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation).
Ketiga, apakah materi yang kita sampaikan itu mengena atau tidak. Mengena di sini sesuai dengan tujuan. Kalau yang kita maksudkan itu tindakan, ya perlu diarahkan pada tindakan. Begitu juga kalau yang kita inginkan adalah penjelasan, pemahaman, pemikiran atau keadaan. Ini perlu kita cek agar bisa mengena sasaran.
Keempat, apakah cocok dengan keadaan atau tidak. Protes, penolakan dan reaksi emosional memang kerap kali muncul tetapi hendaknya kita perlu menyusun materi yang dapat menghindarkan kita dari situasi demikian. Perlu menyusun materi yang sesuai dengan keadaan. Kalau perkiraan kita masih fifty-fifty, ya kita perlu persiapan menghadapi kejutan itu.
Kelima, apakah materi kita sudah relevan atau belum. Relevan di sini adalah bermanfaat untuk orang lain. Bermanfaat ini pengertiannya luas tetapi hendaknya kita perlu mendesain materi setelah mempertimbangkan kepentingan orang lain, audien.
Keenam, apakah materi kita sudah simpel atau belum. Kalau masih ruwet, kita perlu cari akal untuk membuatnya menjadi materi yang mudah dipahami orang lain. Kata Einstein, sebelum anda menyampaikan teori baru, jelaskan dulu di depan anak-anak. Kalau mereka tidak paham, teori anda masih ruwet.
Ketujuh, apakah bahan kita masih mengandung "hidden context" atau tidak. Hidden context di sini artinya beberapa hal yang masih tersembunyi (tidak diketahui oleh orang lain) dan bila ini tidak dijelaskan, akan berpotensi melahirkan pemahaman yang kurang, entah kurang utuh atau kurang kuat. Mudah-mudahan ini bermanfaat.
Rabu, 05 Mei 2010
ksatria jatuh cinta pada putri dari kerajaan bidadari...
sang putri naik ke langit
ksatria kebingungan...
ksatria pintar naik kuda dan bermain pedang...
tapi ksatria tidak tahu caranya terbang...
ksatria keluar dari kastil untuk belajar terbang pada kupu-kupu,,
tetapi kupu-kupu hanya bisa menempatkannya di pucuk pohon..
ksatria lalu belajar pada burung gereja..
burung gereja hanya mampu ,emgajarkannya sampai ke atas menara...
ksatria kemudian berguru pada burung elang...
burng elang hanya mampu membawanya ke puncak gunung
tak ada unggas bersayap yang mampu terbang lebih tinggi lagi...
ksatria sedih tapi tak putus asa..
ksatria memohon pada angin
angin mengajarinya berkeliling mengitari bumi lebih tinggi dari gunung dan awan
namun sang putri masih jauh dari awang-awang
dan tak ada yang mampu menusuk langit..
ksatria sedih dan kali ini ia putus asa...
sampai satu malam ada bintang jatuh...
yang berhenti mendengar tangis dukanya..
ia menawarkan ksatria untuk mampu melesat secepat cahaya..
melesat lebih cepat daripada kilat dan setinggi sejuta langit dijadikan satu...
namun kalau ksatria tak mampu mendarat tepat di depan putrinya...
maka ia akan mati...
hancur dalam kecepatan yang membahayakan
menjadi serbuk membedaki langit dan tamat....
ksatria setuju
ia relakan seluruh kepercayaannya pada bintang jatuh menjadi sebuah nyawa..
dan ia relakan nyawa itu bergantunghanya pada serpih detik yang mematikan...
bintang jatuh menggenggam tangannya...
"inilah perjalanan sebuah cinta sejati" bisiknya
" tutuplah matamu, ksatria. katakan untuk berhenti begitu hatimu merasakan keberadaannya"
melesatlah mereka berdua
dingin yang tak terhingga seakan merobek hati ksatria mungil..
namun hangat jiwanya diterangi rasa cinta
dan ia merasakannya.." berhenti"...
bintang jatuh melongok ke bawah
dan ia pun melihat sesosok putri cantik yang kesepian
bersinar bagaikan pelangi di tengah kelamnya bumi...
ia pun jatuh hati...
dilepaskannya genggaman itu..
sewujud nyawa yang terbentuk ats cinta dan percaya
ksatria melesat menuju kehancuran
sementara sang bintang mendarat turun untuk dapatkan sang putri...
ksatria yang malang..
sang putri naik ke langit
ksatria kebingungan...
ksatria pintar naik kuda dan bermain pedang...
tapi ksatria tidak tahu caranya terbang...
ksatria keluar dari kastil untuk belajar terbang pada kupu-kupu,,
tetapi kupu-kupu hanya bisa menempatkannya di pucuk pohon..
ksatria lalu belajar pada burung gereja..
burung gereja hanya mampu ,emgajarkannya sampai ke atas menara...
ksatria kemudian berguru pada burung elang...
burng elang hanya mampu membawanya ke puncak gunung
tak ada unggas bersayap yang mampu terbang lebih tinggi lagi...
ksatria sedih tapi tak putus asa..
ksatria memohon pada angin
angin mengajarinya berkeliling mengitari bumi lebih tinggi dari gunung dan awan
namun sang putri masih jauh dari awang-awang
dan tak ada yang mampu menusuk langit..
ksatria sedih dan kali ini ia putus asa...
sampai satu malam ada bintang jatuh...
yang berhenti mendengar tangis dukanya..
ia menawarkan ksatria untuk mampu melesat secepat cahaya..
melesat lebih cepat daripada kilat dan setinggi sejuta langit dijadikan satu...
namun kalau ksatria tak mampu mendarat tepat di depan putrinya...
maka ia akan mati...
hancur dalam kecepatan yang membahayakan
menjadi serbuk membedaki langit dan tamat....
ksatria setuju
ia relakan seluruh kepercayaannya pada bintang jatuh menjadi sebuah nyawa..
dan ia relakan nyawa itu bergantunghanya pada serpih detik yang mematikan...
bintang jatuh menggenggam tangannya...
"inilah perjalanan sebuah cinta sejati" bisiknya
" tutuplah matamu, ksatria. katakan untuk berhenti begitu hatimu merasakan keberadaannya"
melesatlah mereka berdua
dingin yang tak terhingga seakan merobek hati ksatria mungil..
namun hangat jiwanya diterangi rasa cinta
dan ia merasakannya.." berhenti"...
bintang jatuh melongok ke bawah
dan ia pun melihat sesosok putri cantik yang kesepian
bersinar bagaikan pelangi di tengah kelamnya bumi...
ia pun jatuh hati...
dilepaskannya genggaman itu..
sewujud nyawa yang terbentuk ats cinta dan percaya
ksatria melesat menuju kehancuran
sementara sang bintang mendarat turun untuk dapatkan sang putri...
ksatria yang malang..
Minggu, 02 Mei 2010
Kebutuhan Sosial Insani
Dari praktek yang sering kita lakukan, curhat (dibaca: curahan hati) itu adalah pengungkapan kita tentang kita (personal) kepada orang lain. Curhat ini berbeda dengan pengaduan. Pengaduan lebih sering dipakai untuk hal-hal yang bersifat sosial. Curhat juga berbeda dengan konseling. Konseling lebih bersifat personal-formal. Di samping itu, konseling memiliki standar profesional dan terkadang juga harus bayar. Hal yang paling mendasar dari konseling adalah bimbingannya.
Seiring dengan kemajuan teknologi, praktek curhat ini sudah mengalami banyak perkembangan. Ada stasiun radio yang khusus menangani orang yang ingin curhat. Ada provider telepon seluler yang membuka nomor khusus untuk curhat. Ada mailing list khusus yang memang didesain untuk keperluan curhat. Bahkan tak sedikit website yang berubah fungsinya menjadi semacam tempat untuk curhat-curhatan antar membernya.
Kenapa banyak orang yang menempuh cara curhat? Adakah manfaat yang bisa dipetik dari cara demikian? Memang ada pendapat yang berbeda-beda soal hal ini. Dari sebagian orang yang saya tanya, ada yang menganggap curhat itu kurang kerjaan. Masalah itu tidak selesai dengan curhat. Curhat itu adalah lambang kecengengan. Tapi tidak sedikit yang menganggap itu sangat dibutuhkan. Curhat bisa menormalkan emosi, bisa menyumbangkan pandangan, dan bisa melegakan batin. Meski masalah tidak selesai dengan curhat, tetapi biasanya sehabis curhat kita merasa plong atau lebih ringan.
Kalau dilihat dari teorinya, memang ada banyak penjelasan yang bisa dipahami bahwa curhat itu termasuk kebutuhan sosial manusia. Di antara kebutuhan sosial itu misalnya: ingin ditemani, ingin ada orang yang merasa senasib, ingin dipedulikan, ingin dihargai, ingin dianggap, ingin didengarkan, dan seterusnya dan seterusnya. Kata sebuah bait puisi yang pernah saya baca, sumbangsih yang paling berharga untuk sesama kita adalah kesediaan untuk saling mendengarkan.
Menurut Horney (1945), setiap orang itu pada dasarnya memiliki tiga kebutuhan dasar. Kebutuhan pertama adalah kebutuhan untuk mendekati orang lain / orang banyak guna mendapatkan cinta / pengakuan. Curhat bisa masuk dalam kebutuhan ini. Kebutuhan kedua adalah kebutuhan untuk menjauhi orang banyak guna memperoleh kebebasan dan kemandirian. Sedangkan kebutuhan ketiga adalah kebutuhan untuk menentang orang banyak guna mendapatkan kekuasaan atau kekuatan (unjuk gigi).
Terlepas itu berguna atau tidak, tapi prakteknya ini kerap kita lakukan atau sulit dihindari untuk tidak melakukannya. Karena itu, mungkin di sini yang diperlukan adalah melihat kapan dan bagaimana curhat itu kita lakukan. Di bawah ini ada beberap hal yang mungkin perlu kita perhatikan:
Pertama, curhat-lah hanya pada orang yang menurut anda itu layak. Layak di sini pengertiannya mungkin layak dalam menjaga rahasia pribadi, layak dalam menangani masalah, layak secara kedekatan hubungan, dan seterusnya. Jangan curhat kepada semua orang atau sembarang orang. Lain soal kalau niat kita memang hanya untuk iseng.
Kedua, curhat-lah hanya ketika kita mendapati masalah-masalah yang memang perlu curhat. Misalnya saja kita menghadapi masalah yang rasa-rasanya belum terbayang bagaimana menanganinya. Saat itu kita butuh pembanding, butuh konfirmasi (penguat) dari orang lain, butuh informasi, dan seterusnya. Jangan curhat untuk semua masalah. Ini berpotensi menghilangkan power personal atau bisa dianggap kita ini cengeng atau selalu mengeluh. Bedanya terkadang sangat tipis dan tidak ketahuan.
Ketiga, curhat-lah pada waktu yang tepat atau yang kira-kira tidak mengganggu orang yang kita curhati. Jangan sedikit-sedikit curhat atau curhat terlalu lama. Perlu kita ingat bahwa ketika kita sadang sangat butuh untuk curhat, umumnya kondisi emosi kita tidak stabil. Mungkin stress, depresi atau mungkin sedang merasa terhimpit. Dalam kondisi semacam itu, biasanya kita cenderung "agak memaksa" orang lain. Kita ingin secepatnya dipahami oleh orang lain lebih dulu. Padahal kita juga perlu memahami orang lain. Karena itu, yang dibutuhkan di sini adalah kendali diri. Jangan sampai kita mengesampingkan kebutuhan untuk memahami orang lain meski keinginan kita adalah untuk dipahami secepatnya.
Keempat, curhat-lah untuk berbagi pengalaman, pengetahuan dan perasaan. Meski kita yang punya acara untuk curhat itu, tapi jangan lupa juga memberikan kesempatan bicara kepada orang yang kita curhati. Ajukan pertanyaan seputar pengalaman dan pengetahuannya tentang persoalan tertentu. Jangan sampai kita curhat hanya untuk curhat. Walaupun ini sah juga tapi alangkah baiknya kalau kita juga mendapatkan manfaat yang banyak. Selain itu, dapatkan juga dukungan. Agar ini tercapai, kita harus tahu orang yang tepat untuk dicurhati.
Kelima, curhat-lah untuk tujuan yang positif dan konstruktif. Ini maksudnya adalah demi kebaikan kita atau demi untuk memperbaiki situasi. Titik. Kenapa perlu dibatasi? Terkadang kita curhat dengan menjelek-jelekkan orang lain, entah itu atasan, teman, pasangan, keluarga, dan siapa saja yang intinya malah memperkeruh suasana. Masalah kita dengan orang lain dan apa saja yang dilakukan orang lain atas kita memang butuh penjelaskan. Tapi, penjelasan di situ sifatnya untuk membeberkan fakta atau memberikan perspektif yang lebih utuh. Ini agar diketahui apa saja yang sebaiknya kita lakukan. Yang jangan sampai adalah penjelasan itu kita bumbui dengan fitnah, adu domba, kedengkian, manipulasi fakta, dan seterusnya. Ini berbahaya buat kita sendiri dan orang lain tentunya.
Hindari Lima Hal
Meski tidak ada kaidah yang mengatur bagaimana kita seharusnya curhat, tapi sepertinya ada rambu-rambu tak tertulis yang perlu kita perhatikan. Sebagian dari sekian rambu-rambu itu adalah:
Pertama, jangan berharap terlalu banyak (over-expectation). Kita mengharapkan seluruh penyelesaian masalah kepada orang yang kita curhati. Ini berpotensi memunculkan mentalitas yang oleh Bandura disebut Avoiding personal responsibility, kebiasaan melemparkan tanggung jawab. Kita perlu sadar, karena kita yang terkena masalah, maka kitalah yang perlu bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Orang lain itu kita butuhkan sebagai bantuan, bukan sebagai tempat untuk melemparkan tanggung jawab. Kita memang harus butuh orang lain, tetapi tidak boleh mengandalkan orang lain.
Kedua, fokuskan pada perbaikan situasi, masalah, atau problem, bukan pada orang. Kenapa ini penting untuk diingat? Seperti yang sudah kita singgung, terkadang kita ingin curat ketika bermasalah dengan orang lain. Saat itu pikiran kita selalu mengarah pada kesimpulan bahwa orang lain-lah yang harus berubah. Padahal, dalam situasi semacam itu, bisanya ini sangat sulit terwujud.
Sebagai gantinya, fokuskan pada persoalan (problem, not people). Ini berarti arah yang kita capai adalah bagaimana mengubah diri sendiri dalam menghadapi masalah itu, bukan bagaimana mengubah orang lain yang keberadaannya di luar kontrol kita. Mengubah diri sendiri, mengubah pendekatan dan perlakuan kita terhadap orang lain, biasanya akan mengubah orang lain. Untuk mengubah diri sendiri ini, mintalah masukan kepada orang yang kita curhati.
Ketiga, jangan "menjual masalah" melalui curhat. Maksudnya adalah, jangan melakukan curhat untuk diberi semacam yang bisa disebut "belas kasihan", meskipun itu bukan niat kita. Kenapa? Prakteknya, posisi demikian terkadang kurang menarik minat orang lain untuk ber-empati (share of feeling atau peduli). Padahal empati itu mungkin tujuan kita. Tapi jangan juga menampilkan sikap atau prilaku yang bisa disimpulkan sebagai kesombongan atau tidak tahu diri, misalnya menolak bantuan yang kita butuhkan atau enggan berterima kasih atas nama kesombongan dan keangkuhan
Keempat, harus efektif dan efisien. Maksudnya pasti kita sudah tahu. Efektif artinya seimbang antara usaha yang kita lakukan dan hasil yang kita dapatkan (tepat sasaran). Sedangkan efisien adalah penggunaan waktu / biaya yang sebaik-baiknya untuk mencapi hasil yang kita inginkan. Dulu, sebelum tehnologi seluler ditemukan, banyak kantor yang kebobolan teleponnya. Menurut hasil survei yang pernah saya baca, ternyata hanya 20 % penggunaan telepon kantor itu yang untuk urusan kantor. Sisanya tidak jelas, mungkin untuk pacaran, curhat-curhatan, dan seterusnya. Kalau begini caranya, tentu kita rugi dan kantor pun rugi.
Kelima, jangan sampai membuka ruang untuk disalah-tafsirkan. Poin ini sangat penting untuk orang yang sudah berkeluarga. Kata seorang penasehat perkawinan yang saya kenal, amat sangat disarankan untuk tidak curhat kepada orang lain yang lawan jenis, terutama tentang masalah keluarga atau pribadi. Kenapa? Sebetulnya tidak apa-apa juga selama itu dilandasi oleh ke-sepaham-an dan masih dalam batas yang proporsional. Tapi bila dua hal ini tidak ada, ini berpotensi memunculkan salah tafsir dari orang yang kita curhati atau dari orang sekitar.
Untuk Orang yang Dicurhati
Di antara kita pasti ada yang selalu didatangi orang untuk curhat. Kalau anda termasuk, syukurilah itu. Kenapa? Dilihat dari perkembangan teori kecerdasan (Multiple Intelligence), ada yang mengatakan bahwa tanda-tanda orang yang punya kecerdasan Interpersonal itu adalah sering dimintai nasehat, pandangan, pendapat atau mungkin sering dicurhati orang. Kalau itu selalu dikembangkan, pasti akan membuahkan keuntungan, entah itu dalam kehidupan profesi, karir, keluarga atau masyarakat.
Berdasarkan kasus-kasus yang kerap muncul, baik di lapangan atau di dalam penjelasan literatur, nampaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Ini antara lain:
Pertama, setiap masalah itu adalah masalah bagi orang yang sedang terkena masalah. Tidak ada masalah yang ringan bagi orang yang sampai merasa perlu untuk men-curhat-kan masalahnya. Artinya, jangan sampai kita menyepelekan masalah orang lain dengan mengatakan, misalnya saja: gitu aja dipikirin, cengeng banget kamu, saya pernah punya masalah yang jauh lebih dahsyat tapi tidak secengeng kamu, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin intinya di sini adalah kita merendahkan orang lain.
Akan lebih bagus kalau kita berusaha mendengarkan, memahami dan mengeksplorasi perspektif ke tingkat yang lebih luas. Kalau kita punya pengalaman pribadi, sampaikan itu ke dalam paket solusi-solusi alternatif. Kalau kita belum punya referensinya, kasihlan pendapat yang mengarah pada penemuan solusi atau perbaikan-perbaikan. Ini akan lebih positif dibanding dengan ketika kita mengangkat diri sendiri dan menjatuhkan orang lain.
Kedua, tunjukkan empati, bukan simpati. Empati itu pada dasarnya adalah peduli atau care (perhatian). Thomas F. Mader & Diane C. Mader, dalam Understanding One Another (1990), menjelaskan, empati itu adalah kapasitas seseorang untuk bisa berbagi atas dasar semangat kepedulian. Peduli ini, kalau mengacu pada teori kompetensi, ada tingkatannya atau ada skalanya. Bentuk peduli yang paling tinggi adalah bantuan nyata atau tindakan.
Lalu kenapa harus menghindari simpati? Simpati yang dimaksudkan di sini adalah menaruh belas kasihan tetapi dasarnya itu adalah (semacam) merendahkan atau menghina orang yang curhat ke kita seolah-olah nasibnya sangat lebih jelek dibanding kita. Simpati dalam pengertian seperti ini agaknya kurang dibutuhkan. Termasuk dalam pengertian simpati di sini adalah, kita ikut hanyut atau larut ke dalam perasaan orang yang curhat sampai-sampai membuat akal sehat kita tidak bekerja untuk melihat persoalan. Logikanya, kalau kita sendiri ikut hanyut, apa ya mungkin kita bisa memberi masukan yang menyehatkan?
Ketiga, faktual dan "problem centered". Menurut teori manajemen, keputusan yang kualitasnya bagus adalah keputusan yang dilandasi fakta, bukan berdasarkan perasaan pribadi. Ini terkadang tepat pula untuk memberi masukan kepada orang yang curhat. Agaknya kita perlu menghindari pemberian saran, masukan atau pendapat yang malah membuat orang malas berpikir, punya harapan atau keyakinan yang tidak realistis, atau malah menghancurkan spirit hidupnya.
Dekatkan orang pada masalah yang dihadapi (faktual) dan bangkitkan spiritnya. Jangan menghibur seseorang dengan kata-kata manis yang tidak mendorongnya untuk melakukan sesuatu (aksi atau antisipasi). Tapi jangan pula menggembosinya dengan opini-opini negatif yang merusak atau kata-kata yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan destruktif.
Keempat, hindari upaya untuk memojokkan, menyalahkan dan apalagi memarahi. Fokuskan pada apa yang bisa dilakukan oleh dia dan oleh kita terkait dengan masalah yang muncul. Bagaimana kalau demi "pendidikan"? Bisa-bisa saja. Cuma, memarahi orang yang sedang terkena masalah biasanya kurang efektif dan sangat mungkin memancing penolakan. Yang ia butuhkan adalah bantuan. Mungkin nanti kalau kita sudah bisa membantu barulah kita memarahinya, kalau memang itu diperlukan. Jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang menyakitkan padahal kita tidak bisa membantu apa-apa.
Kelima, jaga "kehormatan" orang yang curhat. Kehormatan di sini termasuk misalnya saja: merahasiakan sesuatu yang memang harus dirahasiakan. Kalau pun itu harus dikatakan kepada orang lain / pihak ketiga, hendaknya itu perlu didesain dengan bahasa yang kira-kira bisa memunculkan solusi atau perbaikan, bukan untuk meremehkan, menjelek-jelekkan, atau membuka aib seseorang.
Itulah sebagian dari sekian hal yang mungkin penting untuk diingat ketika hendak curhat atau ketika dicurhati orang lain. Semoga bermanfaat.
Dari praktek yang sering kita lakukan, curhat (dibaca: curahan hati) itu adalah pengungkapan kita tentang kita (personal) kepada orang lain. Curhat ini berbeda dengan pengaduan. Pengaduan lebih sering dipakai untuk hal-hal yang bersifat sosial. Curhat juga berbeda dengan konseling. Konseling lebih bersifat personal-formal. Di samping itu, konseling memiliki standar profesional dan terkadang juga harus bayar. Hal yang paling mendasar dari konseling adalah bimbingannya.
Seiring dengan kemajuan teknologi, praktek curhat ini sudah mengalami banyak perkembangan. Ada stasiun radio yang khusus menangani orang yang ingin curhat. Ada provider telepon seluler yang membuka nomor khusus untuk curhat. Ada mailing list khusus yang memang didesain untuk keperluan curhat. Bahkan tak sedikit website yang berubah fungsinya menjadi semacam tempat untuk curhat-curhatan antar membernya.
Kenapa banyak orang yang menempuh cara curhat? Adakah manfaat yang bisa dipetik dari cara demikian? Memang ada pendapat yang berbeda-beda soal hal ini. Dari sebagian orang yang saya tanya, ada yang menganggap curhat itu kurang kerjaan. Masalah itu tidak selesai dengan curhat. Curhat itu adalah lambang kecengengan. Tapi tidak sedikit yang menganggap itu sangat dibutuhkan. Curhat bisa menormalkan emosi, bisa menyumbangkan pandangan, dan bisa melegakan batin. Meski masalah tidak selesai dengan curhat, tetapi biasanya sehabis curhat kita merasa plong atau lebih ringan.
Kalau dilihat dari teorinya, memang ada banyak penjelasan yang bisa dipahami bahwa curhat itu termasuk kebutuhan sosial manusia. Di antara kebutuhan sosial itu misalnya: ingin ditemani, ingin ada orang yang merasa senasib, ingin dipedulikan, ingin dihargai, ingin dianggap, ingin didengarkan, dan seterusnya dan seterusnya. Kata sebuah bait puisi yang pernah saya baca, sumbangsih yang paling berharga untuk sesama kita adalah kesediaan untuk saling mendengarkan.
Menurut Horney (1945), setiap orang itu pada dasarnya memiliki tiga kebutuhan dasar. Kebutuhan pertama adalah kebutuhan untuk mendekati orang lain / orang banyak guna mendapatkan cinta / pengakuan. Curhat bisa masuk dalam kebutuhan ini. Kebutuhan kedua adalah kebutuhan untuk menjauhi orang banyak guna memperoleh kebebasan dan kemandirian. Sedangkan kebutuhan ketiga adalah kebutuhan untuk menentang orang banyak guna mendapatkan kekuasaan atau kekuatan (unjuk gigi).
Terlepas itu berguna atau tidak, tapi prakteknya ini kerap kita lakukan atau sulit dihindari untuk tidak melakukannya. Karena itu, mungkin di sini yang diperlukan adalah melihat kapan dan bagaimana curhat itu kita lakukan. Di bawah ini ada beberap hal yang mungkin perlu kita perhatikan:
Pertama, curhat-lah hanya pada orang yang menurut anda itu layak. Layak di sini pengertiannya mungkin layak dalam menjaga rahasia pribadi, layak dalam menangani masalah, layak secara kedekatan hubungan, dan seterusnya. Jangan curhat kepada semua orang atau sembarang orang. Lain soal kalau niat kita memang hanya untuk iseng.
Kedua, curhat-lah hanya ketika kita mendapati masalah-masalah yang memang perlu curhat. Misalnya saja kita menghadapi masalah yang rasa-rasanya belum terbayang bagaimana menanganinya. Saat itu kita butuh pembanding, butuh konfirmasi (penguat) dari orang lain, butuh informasi, dan seterusnya. Jangan curhat untuk semua masalah. Ini berpotensi menghilangkan power personal atau bisa dianggap kita ini cengeng atau selalu mengeluh. Bedanya terkadang sangat tipis dan tidak ketahuan.
Ketiga, curhat-lah pada waktu yang tepat atau yang kira-kira tidak mengganggu orang yang kita curhati. Jangan sedikit-sedikit curhat atau curhat terlalu lama. Perlu kita ingat bahwa ketika kita sadang sangat butuh untuk curhat, umumnya kondisi emosi kita tidak stabil. Mungkin stress, depresi atau mungkin sedang merasa terhimpit. Dalam kondisi semacam itu, biasanya kita cenderung "agak memaksa" orang lain. Kita ingin secepatnya dipahami oleh orang lain lebih dulu. Padahal kita juga perlu memahami orang lain. Karena itu, yang dibutuhkan di sini adalah kendali diri. Jangan sampai kita mengesampingkan kebutuhan untuk memahami orang lain meski keinginan kita adalah untuk dipahami secepatnya.
Keempat, curhat-lah untuk berbagi pengalaman, pengetahuan dan perasaan. Meski kita yang punya acara untuk curhat itu, tapi jangan lupa juga memberikan kesempatan bicara kepada orang yang kita curhati. Ajukan pertanyaan seputar pengalaman dan pengetahuannya tentang persoalan tertentu. Jangan sampai kita curhat hanya untuk curhat. Walaupun ini sah juga tapi alangkah baiknya kalau kita juga mendapatkan manfaat yang banyak. Selain itu, dapatkan juga dukungan. Agar ini tercapai, kita harus tahu orang yang tepat untuk dicurhati.
Kelima, curhat-lah untuk tujuan yang positif dan konstruktif. Ini maksudnya adalah demi kebaikan kita atau demi untuk memperbaiki situasi. Titik. Kenapa perlu dibatasi? Terkadang kita curhat dengan menjelek-jelekkan orang lain, entah itu atasan, teman, pasangan, keluarga, dan siapa saja yang intinya malah memperkeruh suasana. Masalah kita dengan orang lain dan apa saja yang dilakukan orang lain atas kita memang butuh penjelaskan. Tapi, penjelasan di situ sifatnya untuk membeberkan fakta atau memberikan perspektif yang lebih utuh. Ini agar diketahui apa saja yang sebaiknya kita lakukan. Yang jangan sampai adalah penjelasan itu kita bumbui dengan fitnah, adu domba, kedengkian, manipulasi fakta, dan seterusnya. Ini berbahaya buat kita sendiri dan orang lain tentunya.
Hindari Lima Hal
Meski tidak ada kaidah yang mengatur bagaimana kita seharusnya curhat, tapi sepertinya ada rambu-rambu tak tertulis yang perlu kita perhatikan. Sebagian dari sekian rambu-rambu itu adalah:
Pertama, jangan berharap terlalu banyak (over-expectation). Kita mengharapkan seluruh penyelesaian masalah kepada orang yang kita curhati. Ini berpotensi memunculkan mentalitas yang oleh Bandura disebut Avoiding personal responsibility, kebiasaan melemparkan tanggung jawab. Kita perlu sadar, karena kita yang terkena masalah, maka kitalah yang perlu bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Orang lain itu kita butuhkan sebagai bantuan, bukan sebagai tempat untuk melemparkan tanggung jawab. Kita memang harus butuh orang lain, tetapi tidak boleh mengandalkan orang lain.
Kedua, fokuskan pada perbaikan situasi, masalah, atau problem, bukan pada orang. Kenapa ini penting untuk diingat? Seperti yang sudah kita singgung, terkadang kita ingin curat ketika bermasalah dengan orang lain. Saat itu pikiran kita selalu mengarah pada kesimpulan bahwa orang lain-lah yang harus berubah. Padahal, dalam situasi semacam itu, bisanya ini sangat sulit terwujud.
Sebagai gantinya, fokuskan pada persoalan (problem, not people). Ini berarti arah yang kita capai adalah bagaimana mengubah diri sendiri dalam menghadapi masalah itu, bukan bagaimana mengubah orang lain yang keberadaannya di luar kontrol kita. Mengubah diri sendiri, mengubah pendekatan dan perlakuan kita terhadap orang lain, biasanya akan mengubah orang lain. Untuk mengubah diri sendiri ini, mintalah masukan kepada orang yang kita curhati.
Ketiga, jangan "menjual masalah" melalui curhat. Maksudnya adalah, jangan melakukan curhat untuk diberi semacam yang bisa disebut "belas kasihan", meskipun itu bukan niat kita. Kenapa? Prakteknya, posisi demikian terkadang kurang menarik minat orang lain untuk ber-empati (share of feeling atau peduli). Padahal empati itu mungkin tujuan kita. Tapi jangan juga menampilkan sikap atau prilaku yang bisa disimpulkan sebagai kesombongan atau tidak tahu diri, misalnya menolak bantuan yang kita butuhkan atau enggan berterima kasih atas nama kesombongan dan keangkuhan
Keempat, harus efektif dan efisien. Maksudnya pasti kita sudah tahu. Efektif artinya seimbang antara usaha yang kita lakukan dan hasil yang kita dapatkan (tepat sasaran). Sedangkan efisien adalah penggunaan waktu / biaya yang sebaik-baiknya untuk mencapi hasil yang kita inginkan. Dulu, sebelum tehnologi seluler ditemukan, banyak kantor yang kebobolan teleponnya. Menurut hasil survei yang pernah saya baca, ternyata hanya 20 % penggunaan telepon kantor itu yang untuk urusan kantor. Sisanya tidak jelas, mungkin untuk pacaran, curhat-curhatan, dan seterusnya. Kalau begini caranya, tentu kita rugi dan kantor pun rugi.
Kelima, jangan sampai membuka ruang untuk disalah-tafsirkan. Poin ini sangat penting untuk orang yang sudah berkeluarga. Kata seorang penasehat perkawinan yang saya kenal, amat sangat disarankan untuk tidak curhat kepada orang lain yang lawan jenis, terutama tentang masalah keluarga atau pribadi. Kenapa? Sebetulnya tidak apa-apa juga selama itu dilandasi oleh ke-sepaham-an dan masih dalam batas yang proporsional. Tapi bila dua hal ini tidak ada, ini berpotensi memunculkan salah tafsir dari orang yang kita curhati atau dari orang sekitar.
Untuk Orang yang Dicurhati
Di antara kita pasti ada yang selalu didatangi orang untuk curhat. Kalau anda termasuk, syukurilah itu. Kenapa? Dilihat dari perkembangan teori kecerdasan (Multiple Intelligence), ada yang mengatakan bahwa tanda-tanda orang yang punya kecerdasan Interpersonal itu adalah sering dimintai nasehat, pandangan, pendapat atau mungkin sering dicurhati orang. Kalau itu selalu dikembangkan, pasti akan membuahkan keuntungan, entah itu dalam kehidupan profesi, karir, keluarga atau masyarakat.
Berdasarkan kasus-kasus yang kerap muncul, baik di lapangan atau di dalam penjelasan literatur, nampaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Ini antara lain:
Pertama, setiap masalah itu adalah masalah bagi orang yang sedang terkena masalah. Tidak ada masalah yang ringan bagi orang yang sampai merasa perlu untuk men-curhat-kan masalahnya. Artinya, jangan sampai kita menyepelekan masalah orang lain dengan mengatakan, misalnya saja: gitu aja dipikirin, cengeng banget kamu, saya pernah punya masalah yang jauh lebih dahsyat tapi tidak secengeng kamu, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin intinya di sini adalah kita merendahkan orang lain.
Akan lebih bagus kalau kita berusaha mendengarkan, memahami dan mengeksplorasi perspektif ke tingkat yang lebih luas. Kalau kita punya pengalaman pribadi, sampaikan itu ke dalam paket solusi-solusi alternatif. Kalau kita belum punya referensinya, kasihlan pendapat yang mengarah pada penemuan solusi atau perbaikan-perbaikan. Ini akan lebih positif dibanding dengan ketika kita mengangkat diri sendiri dan menjatuhkan orang lain.
Kedua, tunjukkan empati, bukan simpati. Empati itu pada dasarnya adalah peduli atau care (perhatian). Thomas F. Mader & Diane C. Mader, dalam Understanding One Another (1990), menjelaskan, empati itu adalah kapasitas seseorang untuk bisa berbagi atas dasar semangat kepedulian. Peduli ini, kalau mengacu pada teori kompetensi, ada tingkatannya atau ada skalanya. Bentuk peduli yang paling tinggi adalah bantuan nyata atau tindakan.
Lalu kenapa harus menghindari simpati? Simpati yang dimaksudkan di sini adalah menaruh belas kasihan tetapi dasarnya itu adalah (semacam) merendahkan atau menghina orang yang curhat ke kita seolah-olah nasibnya sangat lebih jelek dibanding kita. Simpati dalam pengertian seperti ini agaknya kurang dibutuhkan. Termasuk dalam pengertian simpati di sini adalah, kita ikut hanyut atau larut ke dalam perasaan orang yang curhat sampai-sampai membuat akal sehat kita tidak bekerja untuk melihat persoalan. Logikanya, kalau kita sendiri ikut hanyut, apa ya mungkin kita bisa memberi masukan yang menyehatkan?
Ketiga, faktual dan "problem centered". Menurut teori manajemen, keputusan yang kualitasnya bagus adalah keputusan yang dilandasi fakta, bukan berdasarkan perasaan pribadi. Ini terkadang tepat pula untuk memberi masukan kepada orang yang curhat. Agaknya kita perlu menghindari pemberian saran, masukan atau pendapat yang malah membuat orang malas berpikir, punya harapan atau keyakinan yang tidak realistis, atau malah menghancurkan spirit hidupnya.
Dekatkan orang pada masalah yang dihadapi (faktual) dan bangkitkan spiritnya. Jangan menghibur seseorang dengan kata-kata manis yang tidak mendorongnya untuk melakukan sesuatu (aksi atau antisipasi). Tapi jangan pula menggembosinya dengan opini-opini negatif yang merusak atau kata-kata yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan destruktif.
Keempat, hindari upaya untuk memojokkan, menyalahkan dan apalagi memarahi. Fokuskan pada apa yang bisa dilakukan oleh dia dan oleh kita terkait dengan masalah yang muncul. Bagaimana kalau demi "pendidikan"? Bisa-bisa saja. Cuma, memarahi orang yang sedang terkena masalah biasanya kurang efektif dan sangat mungkin memancing penolakan. Yang ia butuhkan adalah bantuan. Mungkin nanti kalau kita sudah bisa membantu barulah kita memarahinya, kalau memang itu diperlukan. Jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang menyakitkan padahal kita tidak bisa membantu apa-apa.
Kelima, jaga "kehormatan" orang yang curhat. Kehormatan di sini termasuk misalnya saja: merahasiakan sesuatu yang memang harus dirahasiakan. Kalau pun itu harus dikatakan kepada orang lain / pihak ketiga, hendaknya itu perlu didesain dengan bahasa yang kira-kira bisa memunculkan solusi atau perbaikan, bukan untuk meremehkan, menjelek-jelekkan, atau membuka aib seseorang.
Itulah sebagian dari sekian hal yang mungkin penting untuk diingat ketika hendak curhat atau ketika dicurhati orang lain. Semoga bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)