Nama bapak penjaga wartel itu adalah Tarman,ia berusia 47 tahun dan mempunyai 3 orang anak yang sudah dewasa. Istri Pak Tarman sudah tiada 3 tahun yang lalu, kini ia hidup hanya dengan ketiga anaknya. Pak Tarman berasal dari sebuah desa kecil di pulau Jawa ini, ia berasal dari desa Jetis, Jogjakarta. Kedua orangtua Pak Tarman sudah tiada. Kini ia memiliki tanggungan untuk mengurus anak-anaknya yang masih duduk di bangku kuliah.
Baginya pendidikan adalah hal yang sangat penting. Dulu Pak Tarman tidak dapat bersekolah karena masalah biaya. Orangtuanya hanyalah petani kontrak yang memiliki gaji yang tidak seberapa. Gaji yang dimiliki kedua orangtua Pak Tarman hanya cukup untuk memberi makan keluarga Pak Tarman saja. Namun, Pak Tarman tidak berkecil hati karena ia tidak dapat bersekolah seperti teman-temannya pada waktu itu. Pak Tarman tetap bersekolah di sebuah pengajian yang terdapat di desa yang jauh dari desanya. Untuk menuju ke desa tempat Pak Tarman, ia harus bersepeda selama kurang lebih 2 jam lamanya. Di pengajian itu Pak Tarman diajari membaca dan menulis. Akhirnya dari pengajian itulah Pak Tarman memiliki modal membaca dan menulis. Hanya itu modal pertama yang dimiliki Pak Tarman.
Kegiatan sehari-hari Pak Tarman adalah membantu kedua orangtuanya mengarit padi di sawah. Sedangkan ketiga kakaknya yang lain sudah pergi ke Jakarta untuk bekerja. Pak Tarman adalah anak bungsu dari 4 bersaudara. Pak Tarman juga memiliki keinginan untuk pergi ke Jakarta untuk mencari nafkah dan kehidupan yang lebih baik.
Pada usianya yang ke 18 tahun, Pak Tarman memutuskan untuk pergi ke Jakarta dan bekerja di Jakarta. Pada waktu itu Pak Tarman hanya bermodalkan membaca dan menulis saja. Di Jakarta Pak Tarman melamar kerja di berbagai tempat. Namun karena Pak Tarman tidak memiliki ijazah pendidikan resmi, ia ditolak berkali-kali dalam melamar pekerjaan, bahkan untuk menjadi cleaning service di sebuah salon kecil saja Pak Tarman ditolak. Sempat ia putus asa dalam perjuangannya mencari pekerjaan. Ia sempat ingin kembali ke kampung halamannya untuk mengurus sapi milik saudaranya. Namun pada waktu itu Pak Tarman sudah tidak memiliki uang sama sekali, akhirnya ia membatalkan niatnya untuk pergi ke kampung halamannya.
Karena tidak memiliki uang dan pekerjaan akhirnya pak Tarman menjadi pengemis di Jakarta. Tempat tinggal Pak Tarman pun di kolong jembatan, bersama dengan para pengemis yang lainnya. Setiap hari ia mengemis bersama dengan teman-temannya sesama pengemis. Hidupnya hanya digantungkan pada uang yang diberikan oleh orang lain yang iba melihat keadaan dirinya pada waktu itu. Teman-teman Pak Tarman pada waktu itu adalah pengemis, pengamen, tukang asongan, bahkan Pak Tarman pun berteman dengan PSK-PSK yang kerap kali bekerja di wilayahnya. Wilayah tempat tinggal Pak Tarman pada waktu itu adalah di daerah cawang, yang kini dikenal dengan istilah baypass.
Pada suatu hari ada seorang bapak yang kebetulan berkenalan dengan Pak Tarman. Bapak itu membutuhkan seorang pembantu rumah tangga di rumahnya, dan ia menawari Pak Tarman untuk bekerja dengannya. Karena Pak Tarman ingin mengubah nasib hidupnya Pak Tarman pun bekerja dengan bapak itu. Bapak itu bekerja sebagai ahli mesin elektronika di rumahnya. Bapak itu memiliki banyak cabang bengkel mesin elektronika di Jakarta. Hidup Pak Tarman sangat dijamin pada saat ia bekerja di rumah bapak itu. Karena hidupnya dijamin oleh bapak itu Pak Tarman pun bekerja dengan sungguh- sungguh dengan bapak itu. Melihat kesungguhan dari Pak Tarman bapak itu juga mengajari Pak Tarman merangaki rangkaina elektronika. Pak Tarman cepat dalam belajar elektronika, dan akhirnya Pak Tarman menajdi asisten bapak itu dalam mengurus bengkel mesin di rumahya. Gaji Pak Tarman pun cukup untuk membiayai kedua orangtuanya serta dirinya sendiri pada waktu itu. Bengkel elektronika milik bapak itu berada di daerah Cililitan, dan sampai sekarang bengkel itu masih diurus oleh anak buah Pak Tarman.
Waktu itu musibah terjadi di rumah tempat Pak Tarman bekerja. Rumah itu terbakar karena ada kesalah dari pegawai yang lupa mencabut stop kontak yang masih aktif. Akhirnya hamper seluruh rumah beserta isinya terbakar habis oleh musibah itu. Majikan Pak Tarman meninggal dunia pada waktu itu, karena majikan Pak Tarman berusaha mengambil surat-surat berharga dalam rumahnya. Surat-surat berharga tersebut memang berhasil diambil oleh majikan Pak Tarman, namun majikannya terkena luka bakar yang serius di sekujur tubuhnya, dan akhirnya meninggal setelah menyerahkan surat-surat berharga tersebut kepada Pak Tarman.
Akhirnya Pak Tarman melanjutkan usaha majikannya tersebut dalam membuka bengkel elektronika. Dengan uang tabungan milik Pak Tarman, Pak Tarman kembali membangun rumah yang terbakar tersebut. Pak Tarman kembali membuka usaha bengkel elektronika, namun tanpa ada pegawai seperti sebelumnya. Semua pegawai majikannya pada waktu itu pergi entah kemana. Akhirnya Pak Tarman mengurus bengkel elektronika kecil-kecilannya sendiri. Pertama ia membuka bengkel elektronika ia tidak mempunyai pelanggan sama sekali. Selama berminggu-minggu ia menunggu datangnya pelanggan, namun yang ditunggu pun tak kunjung datang. Usaha Pak Tarman pada waktu itu terancam bangkrut, karena sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Akhirnya Pak Tarman pun hanya bisa berdoa dan berharap agar ada pelanggan yang datang ke bengkelnya.
Doanya pun dijawab oleh Tuhan. Pelanggan mulai berdatangan ketika Pak Tarman mulai kehabisan uang dan berniat menjual barang-barang miliknya ke orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada waktu itu. Mulai dari saat itu Pak Tarman kembali bekerja sebagai teknisi elektronika dan memperbaiki berbagai rangkaian elektronika yang rusak. Kian hari pelanggan pun makin banyak berdatangan dan Pak Tarman mulai kewalahan mengurus bengkel miliknya. Pak Tarman mencari orang yang dapat bekerja untuknya pada waktu itu sebagai asisten dirinya dalam mengurus bengkel tersebut. Dalam 2 minggu pencarian Pak Tarman sudah mendapatkan 2 orang pegawai yang bekerja untuknya. Kehidupan Pak Tarman pun mulai berubah dan menjadi orang yang sangat dikenal di daerahnya sebagai pemilik bengel elektronika terhebat di daerahnya pada waktu itu.
Setelah hasil kerja kerasnya dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada waktu itu, Pak Tarman pun berniat untuk mencari seorang pendamping hidup. Waktu itu Pak Tarman memilik kenalan bernama Maryamah, seorang gadis cantik yang diidam-idamkan Pak Tarman sejak ia menjadi pembantu rumah tangga. Hubungan Pak Tarman dengan Maryamah pun terjalin selam beberapa bulan, sebelum Pak Tarman melamar Maryamah untuk menjadi istrinya. Akhirnya Pak Tarman pun menikah dengan Maryamah dan memiliki 3 orang putra. Ketiga anaknya bernama Iput Herlambang, Yusup Saputra, dan Dwi Firmansyah. Ketiga anaknya kini masih kuliah di Universitas Indonesia.
Nilai-nilai yang dapat saya ambil dari wawancara ini adalah semangat untuk berjuang dan keteguhan hati dari Pak Tarman. Ia memulai usahanya dari nol, hanya bemodalkan baca tulis saja. Ia memulai perjuangan hidupnya dengan menjadi pengemis yang hanya mengandalkan bantuan dari orang lain untuk mendapatkan nafkah. Kehidupannya mulai beranjak membaik ketika ia menjadi pembantu rumah tangga di daerah cililitan. Oleh majikannya ia diajari ilmu elektronika yang membawanya menuju kesuksesan hidupnya saat ini. Dengan keteguhan hati yang ia miliki ia selalu berjuang dari segala kegagalan yang ia terima selama perjuangannya dalam bekerja, dan akhirnya ia dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku perguruan tinggi.
Selain itu rasa percaya diri Pak Tarman juga patut dikagumi. Pasalnya, beliau hanya bermodalkan baca tulis saja sejak ia hijrah dari kampung halamannya. Namun ia tidak pernah minder atau menyerah dengan kemampuan yang ia miliki. Beliau mengajarkan sesuatu pada saya, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, yang ada hanyalah orang yang malas dan tidak mau berusaha. Kalau mau hidup sukses kita harus berani dalam melakukan sesuatu dan tidak tanggung –tanggung dalam mengerjakannya. Beliau mengajarkan pada saya bahwa saya harus berani melawan diri saya sendiri agar saya dapat keluar dari pribadi yang membatasi saya dlam berkembang. Itulah kunci kesuksesan yang diajarkan Pak Tarman kepada saya.
Selasa, 10 Agustus 2010
Dua Diri Di Dalam Diri
Disadari atau tidak, seringkali kita terlibat ke dalam urusan untuk ingin mengubah orang lain. Keinginan itu ada yang kita sampaikan melalui harapan, saran, atau bahkan tindakan yang bentuknya mungkin bisa "the must do" atau "the must not do". Terkadang juga keinginan itu ada yang didasari pertimbangan / kepentingan rasional, tapi ada juga yang didasari oleh hasrat-subyektivitas kita.
Kalau melihat ke literaturnya, memang ada banyak penjelasan terkait dengan topik kita ini. Ada yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak bisa diubah oleh siapapun, kecuali oleh dirinya. Setiap orang, dalam kondisi apapun, ia punya kebebasan untuk menentukan dirinya. Sampai ada yang bilang, biarpun kita menodongkan postol di kepala orang itu, ia tetap saja punya kebebasan menolak atau menerima ajakan kita. Ibarat kuda, bisa saja kita memaksanya untuk sampai ke pinggir sungai, tapi untuk memaksanya minum air sungai, nanti dulu.
Pendapat lain mengatakan yang sebaliknya. Manusia itu adalah makhluk yang rentan perubahan. Teori pendidikan, teori motivasi, teori pembentukan karakter dan lain-lain berangkat dari pemikiran ini. Banyak riset dan kajian ilmu pengetahuan yang berkesimpulan, manusia itu adalah bentukan dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, faktor gen dan faktor lingkungan, faktor individual dan faktor sosial. Menurut George Herbert Mead, setiap orang itu punya "dua diri". Yang satu hasil bentukan dirinya dan yang satu lagi hasil bentukan dari luar (impulsive dan restrained).
Ada pendapat lain yang mencoba mencairkan kedua ekstrimitas di atas. Menurut pendapat ini, di dalam diri manusia itu ada bagian yang bisa diubah dengan mudah, tapi ada juga yang sulit diubah. Kata “sulit diubah†ini mengarah pada dua pengertian, yaitu: a) sulit dalam arti harus dilakukan berkali-kali atau yang di dalam teori pendidikannya disebut pembiasaan atau paksaan, dan b) sulit dalam arti harus melibatkan kesadaran atau inisiatif yang bersangkutan.
Pendapat di atas bisa kita lihat di teori kompetensi atau konsep pengembangan SDM. Contoh yang mudah diubah itu misalnya skill, pengetahuan, pandangan, dan semisalnya. Kalau kita ingin mengubah orang dari yang semula tidak tahu ke manjadi tahu, ini lebih mudah. Cukup dikasih buku atau diajari. Sedangkan contoh yang sulit diubah itu misalnya adalah sifat-sifat bawaan, bakat bawaan, sikap mental, konsep-diri, operant trait, kebiasaan, karakter, dan semisalnya. Lembaga pendidikan yang mahal sekali pun terkadang belum sepenuhnya membuktikan kesanggupannya dalam mengubah karakter atau sikap mental seseorang.
Menurut teori kompetensi, yang sulit diubah itu disebut "core personality", yang letaknya di layar paling dalam dari diri kita. Ada lagi yang menyebut dengan istilah "trait" untuk hal-hal yang sulit diubah dan "state" untuk hal-hal yang mudah diubah. Trait adalah karakteristik bawaan yang melekat pada kita (operant trait), sedangkan state adalah karakteristik tertentu yang muncul akibat kondisi tertentu dari luar (respondent trait)
Intinya, masih ada peluang bagi kita untuk mengajak orang lain berubah. Hanya saja memang di sana ada bagian yang langsung bisa diubah dengan mudah dan ada yang butuh waktu, tidak langsung dan sulit. Karana itu, dulu, ada petuah pendidikan yang mengatakan, mendidik manusia itu sama seperti menaman kelapa. Kalau kita mananam sekarang, hasilnya baru ketahuan duapuluh tahun kemudian. Petuah ini terkait dengan sesuatu di dalam diri manusia yang sulit diubah dalam waktu singkat.
Terlepas dari itu, kalau melihat penjelasan dalam konsep kompetensi, ternyata keinginan kita untuk mengajak orang lain berubah itu termasuk dalam kompetensi di tempat kerja. Karena merupakan kompetensi, maka di sana ada semacam peringkatan (skala). Skala yang paling rendah adalah ketika kita menunjukkan sikap arogansi lalu menuntut orang lain harus berubah sesuai kita dengan cara yang kasar. Skala menengahnya adalah ketika kita melakukan langkah persuasi yang langsung. Sedangkan skala yang paling tinggi adalah ketika kita sudah bisa menerapkan "strategi-halus" dimana seseorang akhirnya berubah tanpa merasa diubah oleh kita (Competence At Work, 1993)
Kenapa berubah & kenapa menolak berubah?
Hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada penjelasan yang mengarah adanya single factor tentang kenapa orang itu berubah dan kenapa seseorang menolak berubah. Kalau mengacu pada beberapa pendapat di atas, di bawah ini ada beberapa hal yang bisa kita jadikan acuan untuk memahami alasan-alasan itu. Secara garis besar, alasan itu bisa kita bagi menjadi dua, yaitu:
- Alasan internal.
- Alasan eksternal
Yang termasuk alasan internal itu adalah, antara lain:
Pertama, manfaat. Orang akan berubah kalau tahu / merasakan manfaatnya (result knowledge). Sebaliknya, orang akan masa bodoh kalau manfaatnya tidak jelas. Karena itu, dalam manajemen dikenal sebuah istilah What-Is-In-It-For-Me. Istilah ini perlu dijadikan pegangan untuk mengajak orang lain berubah. Manfaat ini tentunya banyak: mungkin finansial, mungkin emosional, mungkin intelektual, dan seterusnya.
Kedua, kesadaran. Ini bisa berbentuk sebuah momen internal yang menjadi titik balik di dalam diri seseorang. Orang akan berubah kalau dirinya mengalami proses yang disebut "altered state of consciousness", punya kesadaran baru untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh misalnya ada seseorang yang diberhentikan dari tempat kerja karena punya temparemen yang tidak terkontrol. Sejauh orang itu sadar akan kekurangan yang dimiliki dan bahaya yang nyata, orang itu dipastikan akan menempuh proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Tapi kalau kesadaran itu tidak muncul, perubahan pun sulit terjadi.
Ketiga, harapan. Orang akan berubah kalau punya harapan baru atau punya harapan yang lebih jelas. Karena itu ada yang mengatakan, orang akan tetap "hidup" selama harapannya masih hidup. Harapan baru bisa mengubah orang menjadi kreatif, semangat, inovatif dan seterusnya. "Ketika anda mengubah harapan, maka sikap anda akan berubah", begitu kata Jhon Maxwell.
Keempat, keberanian. Orang juga akan berubah begitu punya keberanian untuk melawan ketakutannya selama ini. Keberanian di sini mungkin ada yang berasaskan pada moral, mental atau alasan-alasan lain yang mendukung. Keputusan orang untuk menikah umumnya terkait dengan soal keberanian ini.
Kelima, sasaran. Sasaran di sini adalah sesuatu yang benar-benar ingin diraih seseorang. Bentuknya mungkin bisa goal, target, objective, vision, dan lain-lain. Orang akan berubah ke arah yang lebih baik kalau sasarannya diperbaiki, diperjelas, dikoreksi, diriilkan, dan seterusnya. Perubahan itu biasanya berupa langkah yang lebih fokus, lebih giat, lebih berdisiplin, lebih matang dan lain-lain.
Itulah sebagian dari sekian yang bisa kita paparkan di sini. Intinya, ada sekian alasan internal yang melatarbelakangi perubahan seseorang. Alasan-alasan itulah yang berfungsi untuk mendorong (to drive), menyeleksi (to select) dan mempertahankan (to defend).
Sedangkan yang termasuk alasan eksternal itu pada umumnya terkait dengan orang (people) dan keadaan (condition). Aristotle mengatakan, di antara yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu itu adalah: perubahan, keadaan alam, paksaan, kebiasaan, visi (alasan mendasar), dorongan dari dalam (semangat atau motivasi, keinginan atau kemauan). Contoh yang dari manusia itu misalnya, pengarahan, kebijakan, paksaan, pendidikan, pemrograman dan lain-lain. Sedangkan contoh yang dari realitas itu misalnya adalah perubahan keadaan atau perubahan alam.
Pendeknya, manusia itu berubah karena realitas di dalam dirinya berubah atau karena realitas di luar dirinya berubah. Riset keilmuan lebih banyak menyimpulkan bahwa perubahan yang datangnya dari dalam diri itu jauh lebih permanen dibanding dengan perubahan yang datangnya dari luar (people and condition). Perubahan dari dalam disebut penentu (determinant), sedangkan yang dari luar disebut pemicu (trigger).
Beberapa Pendekatan
Seperti yang sudah kita singgung, memang agak sulit menemukan adanya single factor yang menjadi alasan kenapa seseorang itu berubah. Karena itu, cara yang perlu kita gunakan untuk mengajak pun perlu di-variatif-kan. Dari sekian pendekatan yang ada di dunia ini, sebagiannya kira-kira di bawah ini:
Pertama, power hubungan. Untuk mengajak orang lain berubah, kita perlu bertanya apakah kita punya power dalam hubungan itu atau tidak. Power di sini bentuknya bisa bermacam-macam: mungkin senioritas, kharisma, atoritas, jabatan, kematangan moral, kematangan mental, dan lain-lain.
Kenapa ini penting? Pengetahuan kita tentang power akan menentukan bentuk pendekatan yang kita pilih. Kalau kita ini seorang atasan dalam organisasi / institusi yang ingin mengubah bawahan, tentu cara finalnya adalah mengeluarkan peraturan. Ini relatif lebih simple. Tapi bagaimana kalau power otoritas itu tidak ada? Tentu dibutuhkan cara lain yang bukan seperti itu.
Maksud saya, jangan sampai kita menggunakan pendekatan yang tidak bisa diterima karena kita tidak tahu bentuk power yang kita miliki. Bagaimana kalau power itu tidak ada semua? Dalam kondisi seburuk inipun tidak berarti pintu kita sudah tertutup. Beberapa konsep dalam manajemen menyarankan agar kita meminta bantuan kepada orang yang menurut penilaian kita punya power. Power menghasilkan trust dan ini sangat dibutuhkan oleh orang lain.
Kedua, faktual dan spesifik. Ini berlaku untuk umum. Entah kita mengajak atau menyuruh orang lain untuk berubah, hendaknya perlu dibuat sefaktual mungkin dan se-spesifik mungkin atau kongkrit. Kalau kita mengatakan, misalnya, you harus memperbaiki diri, tentu ini masih umum. Apanya yang perlu diperbaiki? Apa kesalahannya? Perbaikan seperti apa yang diperlukan? Supaya lebih mudah, ini perlu di-spesifik-kan dan ada dasarnya. Filosofinya, otak manusia itu sulit bekerja kalau tidak memahami instruksi secara kongkrit dan spesifik.
Ketiga, pertimbangan moment. Ini tentu sudah kita pahami bersama. Orang lain terkadang menolak ajakan untuk berubah karena memang moment-nya dianggap / dirasakan belum tepat. Misalnya saja kita memberikan saran tertentu kepada orang di depan orang lain. Mungkin saja saran yang kita berikan baik, tetapi kalau yang bersangkutan salah tanggap, apa jadinya? Nah, moment punya pengertian yang jauh lebih luas dari gambaran ini.
Sebagai tambahan, ada ungkapan yang perlu kita ingat. Katanya, meski ada orang yang ingin dikritik, tapi sebetulnya yang diinginkannya bukan kritik, melainkan pujian atau penghargaan. Ungkapan ini bisa kita jadikan pegangan untuk menciptakan / membuka moment apabila moment yang ditunggu-tunggu itu tidak datang. Artinya, kalau kita ingin mengkritik atau mengoreksi orang lain, hendaknya jangan langsung, tapi perlu dijelaskan sisi-sisi positifnya juga.
Keempat, pertimbangkan kapasitas. Ada ungkapan lagi yang mengatakan, orang yang "ngerti" (understand) itu cukup dikasih tahu dengan isyarat (bahasa halus). Tapi untuk orang yang "nggak ngerti", cara memberi tahunya harus dengan tongkat (media yang benar-benar sangat fisik atau kongkrit). Ini juga bisa kita jadikan acuan. Maksudnya, kita perlu merancang penjelasan yang tepat untuk orang yang tepat. Perlu dihindari menggunakan penjelasan yang halus / pakai perasaan kepada orang yang belum sanggup memahaminya atau menggunakan penjelasan yang "childish" untuk orang yang sudah ngerti. Ini memang sulit tapi memang perlu dijadikan acuan.
Kelima, pertimbangan efek waktu. Sebelum mengajak orang untuk berubah, kita perlu mempertimbangkan apakah efek yang kita harapkan itu untuk kepentingan jangka pendek atau untuk kepentingan jangka panjang. Ini terkait dengan apa yang sudah kita bahas di muka. Untuk hal-hal yang mudah diubah, bisalah kita mengharapkan efek jangka pendek. Tapi untuk hal-hal yang sulit diubah, mau tidak mau kita perlu merevisi harapan itu.
Nah, pemahaman tentang ini juga akan terkait dengan soal pendekatan. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa untuk hal-hal yang sulit diubah atau untuk perubahan jangka panjang, biasanya akan sulit diubah dengan pendekatan yang sifatnya reaktif. Diperlukan edukasi dalam arti yang sebenarnya. Menurut pengalaman seorang ibu yang berhasil membebaskan putra-putranya dari jeratan narkoba, keberhasilannya ternyata banyak ditopang oleh kesabaran dan cinta, bukan kekerasan dan reaksi. Kita tahu, kesabaran dan cinta adalah termasuk kunci meng-educate seseorang untuk jangka panjang.
Keenam, tunjukkan efek manfaat bagi yang bersangkutan (motif). Dengan cara yang bisa dipahami oleh orang yang kita ajak untuk berubah, mau tidak mau kita perlu menjelaskan manfaat / hasil se-kongkrit mungkin, terutama bagi dirinya. Ini terkait dengan apa yang sudah kita bahas di muka. Bisa jadi orang tidak berubah karena tidak tahu manfaat dari sesuatu atau tidak menyadari adanya bahaya dari sesuatu. Tidak semua orang yang mandinya terlalu lama itu karena "bawaan" yang tidak mau diubah, tetapi mungkin juga karena tidak sadar bahwa itu menganggu orang sekitarnya. Misalnya begitu.
Ketujuh, beri masukan seputar cara yang mudah. Idealnya, selain kita mengajak atau mengharapkan orang lain berubah, kita pun perlu membantunya dalam menemukan berbagai cara yang mungkin bisa dilakukan atau menemukan berbagai resource yang mungkin bisa diakses. Kalau kita merasa tidak enak punya teman / keluarga yang lagi jobless, idealnya kita perlu membantu, entah dalam bentuk apapun. Kalau belum mampu, setidak-tidaknya kita perlu memahami kondisinya. Jangan sampai kita merasa tidak enak lalu menyuruhnya begini begitu namun kita tidak mau memahaminya dan membantunya.
Itulah sebagian kecil pendekatan yang mungkin bisa kita terapkan. Semoga bermanfaat.
Disadari atau tidak, seringkali kita terlibat ke dalam urusan untuk ingin mengubah orang lain. Keinginan itu ada yang kita sampaikan melalui harapan, saran, atau bahkan tindakan yang bentuknya mungkin bisa "the must do" atau "the must not do". Terkadang juga keinginan itu ada yang didasari pertimbangan / kepentingan rasional, tapi ada juga yang didasari oleh hasrat-subyektivitas kita.
Kalau melihat ke literaturnya, memang ada banyak penjelasan terkait dengan topik kita ini. Ada yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak bisa diubah oleh siapapun, kecuali oleh dirinya. Setiap orang, dalam kondisi apapun, ia punya kebebasan untuk menentukan dirinya. Sampai ada yang bilang, biarpun kita menodongkan postol di kepala orang itu, ia tetap saja punya kebebasan menolak atau menerima ajakan kita. Ibarat kuda, bisa saja kita memaksanya untuk sampai ke pinggir sungai, tapi untuk memaksanya minum air sungai, nanti dulu.
Pendapat lain mengatakan yang sebaliknya. Manusia itu adalah makhluk yang rentan perubahan. Teori pendidikan, teori motivasi, teori pembentukan karakter dan lain-lain berangkat dari pemikiran ini. Banyak riset dan kajian ilmu pengetahuan yang berkesimpulan, manusia itu adalah bentukan dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, faktor gen dan faktor lingkungan, faktor individual dan faktor sosial. Menurut George Herbert Mead, setiap orang itu punya "dua diri". Yang satu hasil bentukan dirinya dan yang satu lagi hasil bentukan dari luar (impulsive dan restrained).
Ada pendapat lain yang mencoba mencairkan kedua ekstrimitas di atas. Menurut pendapat ini, di dalam diri manusia itu ada bagian yang bisa diubah dengan mudah, tapi ada juga yang sulit diubah. Kata “sulit diubah†ini mengarah pada dua pengertian, yaitu: a) sulit dalam arti harus dilakukan berkali-kali atau yang di dalam teori pendidikannya disebut pembiasaan atau paksaan, dan b) sulit dalam arti harus melibatkan kesadaran atau inisiatif yang bersangkutan.
Pendapat di atas bisa kita lihat di teori kompetensi atau konsep pengembangan SDM. Contoh yang mudah diubah itu misalnya skill, pengetahuan, pandangan, dan semisalnya. Kalau kita ingin mengubah orang dari yang semula tidak tahu ke manjadi tahu, ini lebih mudah. Cukup dikasih buku atau diajari. Sedangkan contoh yang sulit diubah itu misalnya adalah sifat-sifat bawaan, bakat bawaan, sikap mental, konsep-diri, operant trait, kebiasaan, karakter, dan semisalnya. Lembaga pendidikan yang mahal sekali pun terkadang belum sepenuhnya membuktikan kesanggupannya dalam mengubah karakter atau sikap mental seseorang.
Menurut teori kompetensi, yang sulit diubah itu disebut "core personality", yang letaknya di layar paling dalam dari diri kita. Ada lagi yang menyebut dengan istilah "trait" untuk hal-hal yang sulit diubah dan "state" untuk hal-hal yang mudah diubah. Trait adalah karakteristik bawaan yang melekat pada kita (operant trait), sedangkan state adalah karakteristik tertentu yang muncul akibat kondisi tertentu dari luar (respondent trait)
Intinya, masih ada peluang bagi kita untuk mengajak orang lain berubah. Hanya saja memang di sana ada bagian yang langsung bisa diubah dengan mudah dan ada yang butuh waktu, tidak langsung dan sulit. Karana itu, dulu, ada petuah pendidikan yang mengatakan, mendidik manusia itu sama seperti menaman kelapa. Kalau kita mananam sekarang, hasilnya baru ketahuan duapuluh tahun kemudian. Petuah ini terkait dengan sesuatu di dalam diri manusia yang sulit diubah dalam waktu singkat.
Terlepas dari itu, kalau melihat penjelasan dalam konsep kompetensi, ternyata keinginan kita untuk mengajak orang lain berubah itu termasuk dalam kompetensi di tempat kerja. Karena merupakan kompetensi, maka di sana ada semacam peringkatan (skala). Skala yang paling rendah adalah ketika kita menunjukkan sikap arogansi lalu menuntut orang lain harus berubah sesuai kita dengan cara yang kasar. Skala menengahnya adalah ketika kita melakukan langkah persuasi yang langsung. Sedangkan skala yang paling tinggi adalah ketika kita sudah bisa menerapkan "strategi-halus" dimana seseorang akhirnya berubah tanpa merasa diubah oleh kita (Competence At Work, 1993)
Kenapa berubah & kenapa menolak berubah?
Hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada penjelasan yang mengarah adanya single factor tentang kenapa orang itu berubah dan kenapa seseorang menolak berubah. Kalau mengacu pada beberapa pendapat di atas, di bawah ini ada beberapa hal yang bisa kita jadikan acuan untuk memahami alasan-alasan itu. Secara garis besar, alasan itu bisa kita bagi menjadi dua, yaitu:
- Alasan internal.
- Alasan eksternal
Yang termasuk alasan internal itu adalah, antara lain:
Pertama, manfaat. Orang akan berubah kalau tahu / merasakan manfaatnya (result knowledge). Sebaliknya, orang akan masa bodoh kalau manfaatnya tidak jelas. Karena itu, dalam manajemen dikenal sebuah istilah What-Is-In-It-For-Me. Istilah ini perlu dijadikan pegangan untuk mengajak orang lain berubah. Manfaat ini tentunya banyak: mungkin finansial, mungkin emosional, mungkin intelektual, dan seterusnya.
Kedua, kesadaran. Ini bisa berbentuk sebuah momen internal yang menjadi titik balik di dalam diri seseorang. Orang akan berubah kalau dirinya mengalami proses yang disebut "altered state of consciousness", punya kesadaran baru untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh misalnya ada seseorang yang diberhentikan dari tempat kerja karena punya temparemen yang tidak terkontrol. Sejauh orang itu sadar akan kekurangan yang dimiliki dan bahaya yang nyata, orang itu dipastikan akan menempuh proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Tapi kalau kesadaran itu tidak muncul, perubahan pun sulit terjadi.
Ketiga, harapan. Orang akan berubah kalau punya harapan baru atau punya harapan yang lebih jelas. Karena itu ada yang mengatakan, orang akan tetap "hidup" selama harapannya masih hidup. Harapan baru bisa mengubah orang menjadi kreatif, semangat, inovatif dan seterusnya. "Ketika anda mengubah harapan, maka sikap anda akan berubah", begitu kata Jhon Maxwell.
Keempat, keberanian. Orang juga akan berubah begitu punya keberanian untuk melawan ketakutannya selama ini. Keberanian di sini mungkin ada yang berasaskan pada moral, mental atau alasan-alasan lain yang mendukung. Keputusan orang untuk menikah umumnya terkait dengan soal keberanian ini.
Kelima, sasaran. Sasaran di sini adalah sesuatu yang benar-benar ingin diraih seseorang. Bentuknya mungkin bisa goal, target, objective, vision, dan lain-lain. Orang akan berubah ke arah yang lebih baik kalau sasarannya diperbaiki, diperjelas, dikoreksi, diriilkan, dan seterusnya. Perubahan itu biasanya berupa langkah yang lebih fokus, lebih giat, lebih berdisiplin, lebih matang dan lain-lain.
Itulah sebagian dari sekian yang bisa kita paparkan di sini. Intinya, ada sekian alasan internal yang melatarbelakangi perubahan seseorang. Alasan-alasan itulah yang berfungsi untuk mendorong (to drive), menyeleksi (to select) dan mempertahankan (to defend).
Sedangkan yang termasuk alasan eksternal itu pada umumnya terkait dengan orang (people) dan keadaan (condition). Aristotle mengatakan, di antara yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu itu adalah: perubahan, keadaan alam, paksaan, kebiasaan, visi (alasan mendasar), dorongan dari dalam (semangat atau motivasi, keinginan atau kemauan). Contoh yang dari manusia itu misalnya, pengarahan, kebijakan, paksaan, pendidikan, pemrograman dan lain-lain. Sedangkan contoh yang dari realitas itu misalnya adalah perubahan keadaan atau perubahan alam.
Pendeknya, manusia itu berubah karena realitas di dalam dirinya berubah atau karena realitas di luar dirinya berubah. Riset keilmuan lebih banyak menyimpulkan bahwa perubahan yang datangnya dari dalam diri itu jauh lebih permanen dibanding dengan perubahan yang datangnya dari luar (people and condition). Perubahan dari dalam disebut penentu (determinant), sedangkan yang dari luar disebut pemicu (trigger).
Beberapa Pendekatan
Seperti yang sudah kita singgung, memang agak sulit menemukan adanya single factor yang menjadi alasan kenapa seseorang itu berubah. Karena itu, cara yang perlu kita gunakan untuk mengajak pun perlu di-variatif-kan. Dari sekian pendekatan yang ada di dunia ini, sebagiannya kira-kira di bawah ini:
Pertama, power hubungan. Untuk mengajak orang lain berubah, kita perlu bertanya apakah kita punya power dalam hubungan itu atau tidak. Power di sini bentuknya bisa bermacam-macam: mungkin senioritas, kharisma, atoritas, jabatan, kematangan moral, kematangan mental, dan lain-lain.
Kenapa ini penting? Pengetahuan kita tentang power akan menentukan bentuk pendekatan yang kita pilih. Kalau kita ini seorang atasan dalam organisasi / institusi yang ingin mengubah bawahan, tentu cara finalnya adalah mengeluarkan peraturan. Ini relatif lebih simple. Tapi bagaimana kalau power otoritas itu tidak ada? Tentu dibutuhkan cara lain yang bukan seperti itu.
Maksud saya, jangan sampai kita menggunakan pendekatan yang tidak bisa diterima karena kita tidak tahu bentuk power yang kita miliki. Bagaimana kalau power itu tidak ada semua? Dalam kondisi seburuk inipun tidak berarti pintu kita sudah tertutup. Beberapa konsep dalam manajemen menyarankan agar kita meminta bantuan kepada orang yang menurut penilaian kita punya power. Power menghasilkan trust dan ini sangat dibutuhkan oleh orang lain.
Kedua, faktual dan spesifik. Ini berlaku untuk umum. Entah kita mengajak atau menyuruh orang lain untuk berubah, hendaknya perlu dibuat sefaktual mungkin dan se-spesifik mungkin atau kongkrit. Kalau kita mengatakan, misalnya, you harus memperbaiki diri, tentu ini masih umum. Apanya yang perlu diperbaiki? Apa kesalahannya? Perbaikan seperti apa yang diperlukan? Supaya lebih mudah, ini perlu di-spesifik-kan dan ada dasarnya. Filosofinya, otak manusia itu sulit bekerja kalau tidak memahami instruksi secara kongkrit dan spesifik.
Ketiga, pertimbangan moment. Ini tentu sudah kita pahami bersama. Orang lain terkadang menolak ajakan untuk berubah karena memang moment-nya dianggap / dirasakan belum tepat. Misalnya saja kita memberikan saran tertentu kepada orang di depan orang lain. Mungkin saja saran yang kita berikan baik, tetapi kalau yang bersangkutan salah tanggap, apa jadinya? Nah, moment punya pengertian yang jauh lebih luas dari gambaran ini.
Sebagai tambahan, ada ungkapan yang perlu kita ingat. Katanya, meski ada orang yang ingin dikritik, tapi sebetulnya yang diinginkannya bukan kritik, melainkan pujian atau penghargaan. Ungkapan ini bisa kita jadikan pegangan untuk menciptakan / membuka moment apabila moment yang ditunggu-tunggu itu tidak datang. Artinya, kalau kita ingin mengkritik atau mengoreksi orang lain, hendaknya jangan langsung, tapi perlu dijelaskan sisi-sisi positifnya juga.
Keempat, pertimbangkan kapasitas. Ada ungkapan lagi yang mengatakan, orang yang "ngerti" (understand) itu cukup dikasih tahu dengan isyarat (bahasa halus). Tapi untuk orang yang "nggak ngerti", cara memberi tahunya harus dengan tongkat (media yang benar-benar sangat fisik atau kongkrit). Ini juga bisa kita jadikan acuan. Maksudnya, kita perlu merancang penjelasan yang tepat untuk orang yang tepat. Perlu dihindari menggunakan penjelasan yang halus / pakai perasaan kepada orang yang belum sanggup memahaminya atau menggunakan penjelasan yang "childish" untuk orang yang sudah ngerti. Ini memang sulit tapi memang perlu dijadikan acuan.
Kelima, pertimbangan efek waktu. Sebelum mengajak orang untuk berubah, kita perlu mempertimbangkan apakah efek yang kita harapkan itu untuk kepentingan jangka pendek atau untuk kepentingan jangka panjang. Ini terkait dengan apa yang sudah kita bahas di muka. Untuk hal-hal yang mudah diubah, bisalah kita mengharapkan efek jangka pendek. Tapi untuk hal-hal yang sulit diubah, mau tidak mau kita perlu merevisi harapan itu.
Nah, pemahaman tentang ini juga akan terkait dengan soal pendekatan. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa untuk hal-hal yang sulit diubah atau untuk perubahan jangka panjang, biasanya akan sulit diubah dengan pendekatan yang sifatnya reaktif. Diperlukan edukasi dalam arti yang sebenarnya. Menurut pengalaman seorang ibu yang berhasil membebaskan putra-putranya dari jeratan narkoba, keberhasilannya ternyata banyak ditopang oleh kesabaran dan cinta, bukan kekerasan dan reaksi. Kita tahu, kesabaran dan cinta adalah termasuk kunci meng-educate seseorang untuk jangka panjang.
Keenam, tunjukkan efek manfaat bagi yang bersangkutan (motif). Dengan cara yang bisa dipahami oleh orang yang kita ajak untuk berubah, mau tidak mau kita perlu menjelaskan manfaat / hasil se-kongkrit mungkin, terutama bagi dirinya. Ini terkait dengan apa yang sudah kita bahas di muka. Bisa jadi orang tidak berubah karena tidak tahu manfaat dari sesuatu atau tidak menyadari adanya bahaya dari sesuatu. Tidak semua orang yang mandinya terlalu lama itu karena "bawaan" yang tidak mau diubah, tetapi mungkin juga karena tidak sadar bahwa itu menganggu orang sekitarnya. Misalnya begitu.
Ketujuh, beri masukan seputar cara yang mudah. Idealnya, selain kita mengajak atau mengharapkan orang lain berubah, kita pun perlu membantunya dalam menemukan berbagai cara yang mungkin bisa dilakukan atau menemukan berbagai resource yang mungkin bisa diakses. Kalau kita merasa tidak enak punya teman / keluarga yang lagi jobless, idealnya kita perlu membantu, entah dalam bentuk apapun. Kalau belum mampu, setidak-tidaknya kita perlu memahami kondisinya. Jangan sampai kita merasa tidak enak lalu menyuruhnya begini begitu namun kita tidak mau memahaminya dan membantunya.
Itulah sebagian kecil pendekatan yang mungkin bisa kita terapkan. Semoga bermanfaat.
Rabu, 28 Juli 2010
Orang dulu bilang, masa remaja adalah masa yang paling indah, masa yang penuh kenangan manis dan meski ada pahitnya, amat berkesan sepanjang masa. Nah, apakah orang jaman sekarang juga menganggap masa remaja adalah masa yang paling indah? Ada kemungkinan jika diteliti, ada sebagian yang mengatakan "ya", tapi sebagian juga mengatakan "tidak" dan ada sebagian lagi yang menganggap "tidak tahu" atau "have no idea". Yang pasti, masa-masa remaja tidaklah semudah dan semanis yang dilihat orang. Iklan selalu lebih bagus dari kenyataan. Ceria di luar belum tentu seceria di dalam; bisa jadi ceria yang di luar untuk menyembunyikan berbagai hal yang berkecamuk di dalam.
Sebenarnya, apa sih masalah yang sering membuat gundah remaja? Kalau ditanya, banyak yang hanya mendelikkan mata, angkat bahu atau menggelengkan kepala. Entah karena malas untuk dipikirkan atau pun terlalu rumit untuk dijawab. Tapi secara umum, ada beberapa hal jika diuraikan :
1. Problem dengan teman
Remaja sering dipusingkan dengan teman-teman sendiri. Di satu pihak mereka sangat butuh teman untuk jadi tempat curhat, ketawa ketiwi, rame bareng, main, gaul, atau jadi kebanggaan tersendiri kalau bisa gabung dengan teman-teman itu. Tapi di lain pihak, teman-teman yang sama bisa jadi persoalan ketika mulai ada ketidaksamaan yang sulit dijembatani tanpa menipu diri.
2. Problem cinta
Jatuh cinta tidak selalu berjuta rasanya, karena banyak lika liku yang dihadapi. Jangan anggap remeh urusan patah hati, karena moment itu bisa membuka pintu berbagai persoalan yang selama ini ditekan, disembunyikan, diabaikan, dsb. Dengan catatan, jika di masa sebelumnya, remaja sudah punya persoalan tersendiri yg kompleks tapi di-repress habis.
3.Problem akademik
Setiap remaja pasti ingin naik kelas, bahkan kalau bisa jadi juara. Tapi tidak mudah dapat nilai baik, selain pelajarannya sulit, disiplin diri lebih sulit lagi. Bellum lagi kalau banyak tugas kelompok dan tugas praktikum bagi yang sudah di SMU atau kuliah.kompetisi di sekolah, bisa menjadi motivator namun ada yang menganggapnya sebagai ancaman.
4. Problem dengan orang tua dan anggota keluarga lain
Generation gap membuat komunikasi anak dengan orang tua sering on off bahkan kurang nyambung. Beda perspektif, beda pendapat, beda kesenangan, beda kebiasaan, dsb. Selain itu, remaja sering bersitegang dengan orangtua, merasa kurang dimengerti dan terpaksa nurut karena takut. Belum lagi jika orangtua atau anggota keluarga lain yg serumah mengalami masalah berat sampai berpengaruh pada yang lain.
5.Problem diri sendiri
Remaja sering bingung dengan diri sendiri. Keinginan banyak, realisasi kurang.remaja juga sering bertanya, “kenapa kok aku beda dengan dia?” “Kenapa aku selalu nggak PD ?” “Kenapa sih aku selalu berubah-ubah? Kenapa emosiku tidak stabil?” Dan masih banyak persoalan yang berakar dari dalam diri.
Mekanisme Pertahanan Diri
Tentu tidak mudah menangani problem 5 dimensi. Jangankan remaja, orang dewasa sekalipun banyak yang tidak sukses mengelola problem-problem tersebut. Tidak jarang, cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi problem malah menimbulkan problem baru.
Krisis dan masalah sering membuat perasaan kita jadi tidak enak, gelisah, sedih, marah, dsb. Hampir dipastikan ada reaksi spontan dari dalam diri untuk mengatasi ketidaknyamanan itu. Mulai dari tindakan ringan sampai ekstrim. Masalahnya, apakah tindakan itu menyelesaikan masalah, atau sekedar mengobati perasaan; atau keduanya, atau tidak keduanya - alias, tidak menyelesaikan masalah dan tidak juga mengobati perasaan.
Beberapa cara yang umum dilakukan saat remaja mengalami krisis :
* Makan, nonton, jalan-jalan
* Mengurung diri and do nothing, hanya melamun, menangis, mengkhayal
* Marah-marah, berantemin orang-orang dan melampiaskan emosi pada orang lain atau pada benda-benda di sekelilingnya
* Makin gencar ollah raga dan aktivitas fisik lainnya, seperti renang, tennis, lari, bersepeda, naik gunung, martial art, dsb
* Tidur
* Curhat dengan teman,sms, fb-an, menelpon sana sini
* Baca buku, prakarya (artcraft), main musik, ciptain lagu dan syair, bikin puisi, menggambar, membuat kue, memasak, berkebun, menulis buku harian, dsb
* Beres-beres dan bersih-bersih
* Merokok
* Mabuk-mabukkan dan menggunakan narkoba
* Mengurus hewan peliharaan
* Mengurus / utak atik mekanik mobil, motor atau mesin atau bahkan bikin perabotan kecil-kecilan
* Self-sabotage /sabotase diri, seperti tidak makan, tidak mau belajar, tidak sekolah/kuliah, tidak mau mandi, dsb
* Pornografi dan gameografi
Masih banyak reaksi tindakan lain, namun kalau dikategorikan sebenanrnya hanya ada 2 macam : destruktif atau konstruktif. Yang destruktif jelas merugikan diri sendiri dan sudah tentu merepotkan orang lain; sebaliknya, yang konstruktif memberikan efek positif paling tidak bagi diri sendiri. Emosi surut, ada hasil yang bisa dinikmati pula, apalagi jika orang lain juga kena manfaatnya.
Masalahnya, tidak semua remaja bisa punya cara konstruktif. Jaman sekarang ini, kegiatan positif seperti mengerjakan hobi dan ketrampilan, sepertinya sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan hang out untuk sekedar jalan-jalan, nonton, gossip, main game dan on line game, browsing internet, atau tidur-tiduran. Tanpa sadar, miskinnya kegiatan ini membuat remaja bukan saja jadi malas, tapi jadi nggak percaya diri ketika berhadapan dengan masalah.
Tentu saja mereka-mereka ini mudah panik dan cemas, takut dan bingung kalau tiba-tiba kena masalah. Biasanya, mereka mencoba mengandalkan bantuan teman-teman; ya kalau punya teman. Celakanya kalau tidak punya teman, mau bicara sama siapa? Mau minta tolong sama siapa? Yang punya teman pun belum tentu problemnya bisa beres karena teman-teman mereka kebanyakan berkebiasaan yang sama. Makan, nonton, jalan, shopping, gossip, gaming, nongkrong..solusi apa yang bisa muncul dari situ? Hiburan sesaat mungkin ya, tapi bukan solusi. Bahkan kalau dipikir panjang, kebiasaan-kebiasaan itu kan mahal, butuh biaya. Jadi bisa kebayang, kalau reaksi tindakan tersebut bakal tidak efektif selain mahal, juga tidak memberi jalan keluar.
Sementara, remaja-remaja yang punya kebiasaan dan kegiatan konstruktif, menyalurkan emosi dan keresahan pada kegiatannya tersebut. Secara psikologis, ketika emosi tersalur dengan cara dan media positif, tidak sekedar membantu menenangkan pikiran, meredakan ketegangan dan menurunkan stress. Kegiatan konstruktif justru membantu otak membuka kebuntuan-kebuntuan alternatif. Dikala emosi disalurkan dan dikelola secara positif, otak tetap aktif bekerja sehingga sering kita menemukan jawaban atas pertanyaan diri, menemukan insight atas masalahnya, melihat makna dan tujuan, bahkan melihat beberapa alternatif jalan keluar yang bisa dicoba. Maka, lain halnya, kalau badan dan otak di pasif-kan.
Apa akibatnya kalau masalah dibiarkan berlarut-larut?
Beberapa keluhan yang sering dialami remaja, seperti sulit konsentrasi, kehilangan motivasi dan semangat, nilai pelajaran turun, dijauhi teman, makin suka mengkhayal dan berfantasi, terlibat hubungan homoseksual atau lesbian, kecanduan minum atau drugs, pornografi, onani/masturbasi, depresi, hingga terlibat tindakan yang bisa membahayakan jiwa dirinya seperti ingin bunuh diri atau membahayakan orang lain, seperti agresi. Masalahnya, dengan tidak melakukan apa-apa, masalah tetap ada bahkan bertambah kompleks karena ketambahan masalah harian lain. Nah, kalau sudah begini, tentu saja remaja merasa masalah lebih besar dari dirinya. Remaja makin merasa terbeban, tertekan, inferior dan stress. Kerentanan ini lah yang menyebabkan remaja gampang sekali kena bujuk entah ikut kelompok radikal atau terjerumus dalam tindakan melanggar hukum, serta terjerat lingkaran narkoba.
Menghadapi pertanyaan orang tua, terutama, menjadi masalah yang luar biasa besarnya. Remaja jadi kian sensi jika orang tua mulai khawatir dan sering memberi wejangan. Yang sering terjadi, remaja merasa orang tua tidak mau mengerti, sementara orang tua merasa anaknya tidak mau terbuka. Komplit sudah masalahnya!
Mencari jalan keluar
Hubungan yang pura-pura baik (karena seolah terlihat harmonis di luar), lebih sering mengalami jalan buntu ketimbang jalan keluar, karena sama2 memaksakan kehendak dan jalan pikirannya sendiri-sendiri, teori dan asumsi masing-masing. Pun jika ada salah satu pihak yang mengalah dan nurut, motivasinya untuk menghindari pertengkaran dan resiko lain. Jadi, bukan menyelesaikan masalah, tapi menunda masalah dengan cara mendem jero, atau di repress. Nurutnya remaja dengan cara mendem jero, sangat tidak sehat bagi remaja itu sendiri dan hubungan dengan orang tua maupun teman-teman.
Selain memendam beban perasaan kesal, sakit hati, kecewa, remaja juga memendam keinginan, ide-ide yang kalau dieksplorasi bisa membawanya pada solusi betulan, yang dibutuhkan; bahkan bisa membuatnya jadi kuat karena menemukan identitasnya lewat pengalaman-pengalaman ketika krisis.Tapi karena tidak berani menyatakan sikap dan mengambil resiko, pilihan untuk submisif dan nurut adalah yang termudah. Setelah beberapa waktu berlalu, bisa berminggu, berbulan atau bertahun, baru terlihat kalau ternyata masalahnya tidak selesai dan mentalitas sang remaja malah makin lemah karena makin tidak berdaya dan makin tergantung pada orang lain, tidak berani berinisiatif dan bereksplorasi.
Keadaan ini bisa lebih parah jika remaja tidak punya hak bicara dan menyatakan pendapat. Tapi tidak selamanya begitu, ada juga remaja yang sudah diberi hak apapun, tetap tidak mau dan malas berinisiatif dan berusaha karena takut susah, takut salah dan takut sakit (emotional pain). Kondisi yang pertama, bisa membuat remaja kian frustrasi, stress, depresi, bahkan mengalami problem psikologis atau jadi apatis dan fatalistik. Kondisi kedua, membuat remaja malas, juga apatis, pathetic, depresi bahkan bisa jadi antisosial. Bayangkan saja, dilimpahi segala macam, tanpa diharuskan bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Remaja jenis ini, menggadaikan freedom and liberty - menurut istilah Erich Fromm, “escape from freedom”, menggadaikan kemerdekaan jiwa demi kenyamanan semu. Inilah yang membuat jiwa 'mati selagi hidup'.
Oleh karenanya, keterbukaan adalah pintu gerbang untuk berbagai alternatif solusi yang tersedia. Remaja sering merasa 'tak punya pilihan lain' padahal karena memang belum pernah atau tidak mau menengok ke sudut lain. Ada juga yang begitu lantaran tidak pernah diajarkan dan di encourage untuk mencoba menjalani hidup dan memandang diri sendiri dengan cara yang berbeda dari kebiasaan. Jadi, bayangkan saja jika hidup remaja hanya diwarnai dengan 2 hal hitam putih, buruk baik, susah atau enak, begini atau begitu, bagaimana remaja tidak gampang stress dan frustrasi kalau ketimpa krisis?
Apa yang bisa dilakukan remaja jika dirinya mengalami masalah?
1. Diskusikan dengan orang yang tepat
Teman tidak selalu pihak yang tepat, apalagi jika hanya mengkonfirmasi hal-hal yang ingin di dengar. Teman seperti ini, hanya menambah pikiran dan beban emosional, tapi belum tentu punya solusi. Carilah orang yang mungkin saja punya pendapat dan jalan pikiran yang beda. Perbedaan itu membuat otak berpikir kritis dalam membaca persoalan, sehingga sedikit demi sedikit diperoleh gambaran yang obyektif akan apa yang sebenarnya terjadi. Cara ini membantu menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.
Hanya, ada catatan penting, bahwa pola ini efektif membawa hasil jika ada kerendahan hati untuk mau mengakui dan bisa melihat sikap/tindakan diri sendiri yang menyebabkan terjadinya masalah. Sikap defensive, membuat apapun saran dan tawaran solusi, mental. Sebaliknya, sikap defensive, baik itu berupa keengganan menerima kritik, malu kalau kelihatan kurangnya, sehingga menutup diri atau diam-diam saja seolah tidak terjadi apa-apa, membuat masalah tidak selesai, meski dengan berlalunya waktu. Waktu tidak menyelesaikan persoalan.
2. Lakukan tanggung jawab kita
Tanggung jawab harian kita, adalah obat mujarab bagi setiap persoalan. Tanpa kegiatan, energy stuck, pikiran buntu, emosi membludak, kecemasan meningkat, kecurigaan dan pikiran negatif bertambah. Jadi, apa yang harus dilakukan, lakukanlah sebaik mungkin, seoptimal mungkin, bukan demi orang lain, tapi itu adalah anak tangga menuju jalan keluar dan kunci memelihara stamina mental serta memberikan therapeutic effect. Jadi, jangan hindari apalagi hentikan kegiatan yang jadi tugas kita dengan dalih 'sedang tidak mood'.
3. Jalani hobi dan kegiatan positif
Seperti uraian di atas, menekuni hobi adalah kegiatan nurturing our soul. Melepaskan tekanan, mengelola emosi dan menenangkan batin. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri dan bahkan mendengarkan petunjuk bijak Tuhan, justru saat asik mengerjakan hobi.
4. Berinisiatif untuk mencari solusi dan realisasikan dalam tindakan
Bergerak dan mengusahakan sekecil apapun tindakan, akan membawa perbedaan besar. Meskipun usahanya mentok, bukan berarti gagal, malah memberi pengetahuan baru bahwa perlu cara lain untuk melangkah berikutnya.
5. Membuka diri, mau melihat sisi lain
Ibarat belajar, jangan hanya membaca dari 1 buku atau 1 orang dan menganggap itu satu-satunya yang paling baik dan benar. Coba cari teori dan penjelasan lain tentang masalah yang dihadapi, bisa dengan bertanya pada profesional yang accessible, baik secara langsung maupun tak langsung (lewat email/internet) banyak web site yang menyediakan informasi yang dibutuhkan remaja untuk membantunya memahami, apa sih yang sebenarnya terjadi.
6. Membuka akses komunikasi yang baru
Membuka jalur-jalur komunikasi yang baru, merintis jalur kegiatan baru dan membuka diri terhadap orang-orang yang punya kepribadian positif. Remaja bisa banyak belajar dari orang-orang yang jauh lebih matang dalam kepribadian dan pengalaman; karena orang-orang itu juga pernah jadi remaja dan mengatasi kompleksitas kehidupan mereka saat itu.
7. Merubah kebiasaan
Tanpa sadar, banyak dari kebiasaan dan rutinitas yang malah memacetkan pertumbuhan kedewasaan dan penemuan diri. Rutinitas memang membuat nyaman, tapi jadi tidak sehat kalau kita takut merubah kebiasaan hanya karena takut kehilangan kenyamanan atau cemas menghadapi ketidakpastian dari sesuatu yang baru.
8. Berhenti meracuni diri sendiri
Banyak orang yang ketika sedang emosional, punya kebiasaan meracuni diri sendiri. Merokok, minum, narkoba, bahkan overeating atau malah tidak mau makan sama sekali, adalah tindakan meracuni diri. Tidak hanya itu, entertaining asumsi buruk, kecurigaan terhadap orang lain, berpikir negative tentang diri sendiri, memendam marah, sakit hati, sedih, benci dan iri, adalah bentuk lain dari meracuni diri. Berbagai hal itu perlu di kelola dan di buang dengan cara yang tepat dan sehat, supaya tidak berdampak negative buat diri sendiri maupun orang-orang di sekeliling kita. Istilah kerennya, GIGO – garbage in, garbage out. Kalau yang dimasukkan buruk, maka yang keluar juga buruk, pikiran buruk akan menghasilkan tindakan buruk, tindakan buruk akan menghasilkan reaksi buruk dari sekeliling. Mulailah bertindak selektif, kalau tidak positif – ya untuk apa di lakukan kalau nantinya hanya merugikan diri sendiri, apalagi orang lain.
9. Berpikir Positif
Prinsip yang harus di yakini, bahwa selama hidupnya, manusia pasti menghadapi masalah karena dari masalah kita belajar menjadi bijak, pandai dan dewasa. Jadi, krisis dan masalah bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari perjalanan, bekal dalam menempuh petualangan hidup. Carilah segi positif dari masalah yang sedang dihadapi, pasti ada manfaat di balik semua ini. Orang mengatakan “blessing in disguise”.
10. Bantulah orang lain!
Setiap orang pasti punya masalah, berat ringannya tergantung persepsi dan kemampuan masing-masing. Kita suka menganggap masalah kita yang paling berat, padahal banyak masalah teman-teman dan orang di sekeliling kita yang punya masalah jauh lebih berat. Kita tidak tahu karena kita tidak cukup membuka diri terhadap mereka, menyediakan diri untuk memahami kehidupan mereka. Pikiran kita terfokus pada masalah kita sendiri sampai tidak tahu kalau ada teman yang kesusahan atau tetangga yang perlu bantuan. Nah, buatlah diri kita berarti bagi orang lain. Tidak usah harus menjadi pahlawan, lakukan saja apa yang semestinya dan bisa kita lakukan untuk meringankan beban hidup orang lain. Kita bahagia kalau kita bisa membantu orang lain. Bukankah kita hidup di dunia ini untuk bisa membawa kebaikan dan berkah bagi sesama?
Meskipun masalah remaja begitu kompleks, namun di dunia ini juga sudah tersedia jawaban dan solusinya. Kuncinya, remaja perlu bereksplorasi dan proaktif dalam menempuh petualangan hidupnya. Ketakutan dan berbagai perasaan itu pasti ada, tapi jangan sampai dijadikan alasan untuk berhenti berjalan. Persoalan saat ini jangan menjadi akhir dari segalanya. Perjalanan hidup masih panjang, masih banyak petualangan menarik untuk dilalui. Pandai-pandai mengelola perasaan dan persoalan selama berpetualang, sementara jangan kehilangan focus ke masa depan. Teruslah melangkah dan nikmati setiap moment dalam hidup ini sebagai anugerah kehidupan.
Semoga bermanfaat!
Sebenarnya, apa sih masalah yang sering membuat gundah remaja? Kalau ditanya, banyak yang hanya mendelikkan mata, angkat bahu atau menggelengkan kepala. Entah karena malas untuk dipikirkan atau pun terlalu rumit untuk dijawab. Tapi secara umum, ada beberapa hal jika diuraikan :
1. Problem dengan teman
Remaja sering dipusingkan dengan teman-teman sendiri. Di satu pihak mereka sangat butuh teman untuk jadi tempat curhat, ketawa ketiwi, rame bareng, main, gaul, atau jadi kebanggaan tersendiri kalau bisa gabung dengan teman-teman itu. Tapi di lain pihak, teman-teman yang sama bisa jadi persoalan ketika mulai ada ketidaksamaan yang sulit dijembatani tanpa menipu diri.
2. Problem cinta
Jatuh cinta tidak selalu berjuta rasanya, karena banyak lika liku yang dihadapi. Jangan anggap remeh urusan patah hati, karena moment itu bisa membuka pintu berbagai persoalan yang selama ini ditekan, disembunyikan, diabaikan, dsb. Dengan catatan, jika di masa sebelumnya, remaja sudah punya persoalan tersendiri yg kompleks tapi di-repress habis.
3.Problem akademik
Setiap remaja pasti ingin naik kelas, bahkan kalau bisa jadi juara. Tapi tidak mudah dapat nilai baik, selain pelajarannya sulit, disiplin diri lebih sulit lagi. Bellum lagi kalau banyak tugas kelompok dan tugas praktikum bagi yang sudah di SMU atau kuliah.kompetisi di sekolah, bisa menjadi motivator namun ada yang menganggapnya sebagai ancaman.
4. Problem dengan orang tua dan anggota keluarga lain
Generation gap membuat komunikasi anak dengan orang tua sering on off bahkan kurang nyambung. Beda perspektif, beda pendapat, beda kesenangan, beda kebiasaan, dsb. Selain itu, remaja sering bersitegang dengan orangtua, merasa kurang dimengerti dan terpaksa nurut karena takut. Belum lagi jika orangtua atau anggota keluarga lain yg serumah mengalami masalah berat sampai berpengaruh pada yang lain.
5.Problem diri sendiri
Remaja sering bingung dengan diri sendiri. Keinginan banyak, realisasi kurang.remaja juga sering bertanya, “kenapa kok aku beda dengan dia?” “Kenapa aku selalu nggak PD ?” “Kenapa sih aku selalu berubah-ubah? Kenapa emosiku tidak stabil?” Dan masih banyak persoalan yang berakar dari dalam diri.
Mekanisme Pertahanan Diri
Tentu tidak mudah menangani problem 5 dimensi. Jangankan remaja, orang dewasa sekalipun banyak yang tidak sukses mengelola problem-problem tersebut. Tidak jarang, cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi problem malah menimbulkan problem baru.
Krisis dan masalah sering membuat perasaan kita jadi tidak enak, gelisah, sedih, marah, dsb. Hampir dipastikan ada reaksi spontan dari dalam diri untuk mengatasi ketidaknyamanan itu. Mulai dari tindakan ringan sampai ekstrim. Masalahnya, apakah tindakan itu menyelesaikan masalah, atau sekedar mengobati perasaan; atau keduanya, atau tidak keduanya - alias, tidak menyelesaikan masalah dan tidak juga mengobati perasaan.
Beberapa cara yang umum dilakukan saat remaja mengalami krisis :
* Makan, nonton, jalan-jalan
* Mengurung diri and do nothing, hanya melamun, menangis, mengkhayal
* Marah-marah, berantemin orang-orang dan melampiaskan emosi pada orang lain atau pada benda-benda di sekelilingnya
* Makin gencar ollah raga dan aktivitas fisik lainnya, seperti renang, tennis, lari, bersepeda, naik gunung, martial art, dsb
* Tidur
* Curhat dengan teman,sms, fb-an, menelpon sana sini
* Baca buku, prakarya (artcraft), main musik, ciptain lagu dan syair, bikin puisi, menggambar, membuat kue, memasak, berkebun, menulis buku harian, dsb
* Beres-beres dan bersih-bersih
* Merokok
* Mabuk-mabukkan dan menggunakan narkoba
* Mengurus hewan peliharaan
* Mengurus / utak atik mekanik mobil, motor atau mesin atau bahkan bikin perabotan kecil-kecilan
* Self-sabotage /sabotase diri, seperti tidak makan, tidak mau belajar, tidak sekolah/kuliah, tidak mau mandi, dsb
* Pornografi dan gameografi
Masih banyak reaksi tindakan lain, namun kalau dikategorikan sebenanrnya hanya ada 2 macam : destruktif atau konstruktif. Yang destruktif jelas merugikan diri sendiri dan sudah tentu merepotkan orang lain; sebaliknya, yang konstruktif memberikan efek positif paling tidak bagi diri sendiri. Emosi surut, ada hasil yang bisa dinikmati pula, apalagi jika orang lain juga kena manfaatnya.
Masalahnya, tidak semua remaja bisa punya cara konstruktif. Jaman sekarang ini, kegiatan positif seperti mengerjakan hobi dan ketrampilan, sepertinya sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan hang out untuk sekedar jalan-jalan, nonton, gossip, main game dan on line game, browsing internet, atau tidur-tiduran. Tanpa sadar, miskinnya kegiatan ini membuat remaja bukan saja jadi malas, tapi jadi nggak percaya diri ketika berhadapan dengan masalah.
Tentu saja mereka-mereka ini mudah panik dan cemas, takut dan bingung kalau tiba-tiba kena masalah. Biasanya, mereka mencoba mengandalkan bantuan teman-teman; ya kalau punya teman. Celakanya kalau tidak punya teman, mau bicara sama siapa? Mau minta tolong sama siapa? Yang punya teman pun belum tentu problemnya bisa beres karena teman-teman mereka kebanyakan berkebiasaan yang sama. Makan, nonton, jalan, shopping, gossip, gaming, nongkrong..solusi apa yang bisa muncul dari situ? Hiburan sesaat mungkin ya, tapi bukan solusi. Bahkan kalau dipikir panjang, kebiasaan-kebiasaan itu kan mahal, butuh biaya. Jadi bisa kebayang, kalau reaksi tindakan tersebut bakal tidak efektif selain mahal, juga tidak memberi jalan keluar.
Sementara, remaja-remaja yang punya kebiasaan dan kegiatan konstruktif, menyalurkan emosi dan keresahan pada kegiatannya tersebut. Secara psikologis, ketika emosi tersalur dengan cara dan media positif, tidak sekedar membantu menenangkan pikiran, meredakan ketegangan dan menurunkan stress. Kegiatan konstruktif justru membantu otak membuka kebuntuan-kebuntuan alternatif. Dikala emosi disalurkan dan dikelola secara positif, otak tetap aktif bekerja sehingga sering kita menemukan jawaban atas pertanyaan diri, menemukan insight atas masalahnya, melihat makna dan tujuan, bahkan melihat beberapa alternatif jalan keluar yang bisa dicoba. Maka, lain halnya, kalau badan dan otak di pasif-kan.
Apa akibatnya kalau masalah dibiarkan berlarut-larut?
Beberapa keluhan yang sering dialami remaja, seperti sulit konsentrasi, kehilangan motivasi dan semangat, nilai pelajaran turun, dijauhi teman, makin suka mengkhayal dan berfantasi, terlibat hubungan homoseksual atau lesbian, kecanduan minum atau drugs, pornografi, onani/masturbasi, depresi, hingga terlibat tindakan yang bisa membahayakan jiwa dirinya seperti ingin bunuh diri atau membahayakan orang lain, seperti agresi. Masalahnya, dengan tidak melakukan apa-apa, masalah tetap ada bahkan bertambah kompleks karena ketambahan masalah harian lain. Nah, kalau sudah begini, tentu saja remaja merasa masalah lebih besar dari dirinya. Remaja makin merasa terbeban, tertekan, inferior dan stress. Kerentanan ini lah yang menyebabkan remaja gampang sekali kena bujuk entah ikut kelompok radikal atau terjerumus dalam tindakan melanggar hukum, serta terjerat lingkaran narkoba.
Menghadapi pertanyaan orang tua, terutama, menjadi masalah yang luar biasa besarnya. Remaja jadi kian sensi jika orang tua mulai khawatir dan sering memberi wejangan. Yang sering terjadi, remaja merasa orang tua tidak mau mengerti, sementara orang tua merasa anaknya tidak mau terbuka. Komplit sudah masalahnya!
Mencari jalan keluar
Hubungan yang pura-pura baik (karena seolah terlihat harmonis di luar), lebih sering mengalami jalan buntu ketimbang jalan keluar, karena sama2 memaksakan kehendak dan jalan pikirannya sendiri-sendiri, teori dan asumsi masing-masing. Pun jika ada salah satu pihak yang mengalah dan nurut, motivasinya untuk menghindari pertengkaran dan resiko lain. Jadi, bukan menyelesaikan masalah, tapi menunda masalah dengan cara mendem jero, atau di repress. Nurutnya remaja dengan cara mendem jero, sangat tidak sehat bagi remaja itu sendiri dan hubungan dengan orang tua maupun teman-teman.
Selain memendam beban perasaan kesal, sakit hati, kecewa, remaja juga memendam keinginan, ide-ide yang kalau dieksplorasi bisa membawanya pada solusi betulan, yang dibutuhkan; bahkan bisa membuatnya jadi kuat karena menemukan identitasnya lewat pengalaman-pengalaman ketika krisis.Tapi karena tidak berani menyatakan sikap dan mengambil resiko, pilihan untuk submisif dan nurut adalah yang termudah. Setelah beberapa waktu berlalu, bisa berminggu, berbulan atau bertahun, baru terlihat kalau ternyata masalahnya tidak selesai dan mentalitas sang remaja malah makin lemah karena makin tidak berdaya dan makin tergantung pada orang lain, tidak berani berinisiatif dan bereksplorasi.
Keadaan ini bisa lebih parah jika remaja tidak punya hak bicara dan menyatakan pendapat. Tapi tidak selamanya begitu, ada juga remaja yang sudah diberi hak apapun, tetap tidak mau dan malas berinisiatif dan berusaha karena takut susah, takut salah dan takut sakit (emotional pain). Kondisi yang pertama, bisa membuat remaja kian frustrasi, stress, depresi, bahkan mengalami problem psikologis atau jadi apatis dan fatalistik. Kondisi kedua, membuat remaja malas, juga apatis, pathetic, depresi bahkan bisa jadi antisosial. Bayangkan saja, dilimpahi segala macam, tanpa diharuskan bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Remaja jenis ini, menggadaikan freedom and liberty - menurut istilah Erich Fromm, “escape from freedom”, menggadaikan kemerdekaan jiwa demi kenyamanan semu. Inilah yang membuat jiwa 'mati selagi hidup'.
Oleh karenanya, keterbukaan adalah pintu gerbang untuk berbagai alternatif solusi yang tersedia. Remaja sering merasa 'tak punya pilihan lain' padahal karena memang belum pernah atau tidak mau menengok ke sudut lain. Ada juga yang begitu lantaran tidak pernah diajarkan dan di encourage untuk mencoba menjalani hidup dan memandang diri sendiri dengan cara yang berbeda dari kebiasaan. Jadi, bayangkan saja jika hidup remaja hanya diwarnai dengan 2 hal hitam putih, buruk baik, susah atau enak, begini atau begitu, bagaimana remaja tidak gampang stress dan frustrasi kalau ketimpa krisis?
Apa yang bisa dilakukan remaja jika dirinya mengalami masalah?
1. Diskusikan dengan orang yang tepat
Teman tidak selalu pihak yang tepat, apalagi jika hanya mengkonfirmasi hal-hal yang ingin di dengar. Teman seperti ini, hanya menambah pikiran dan beban emosional, tapi belum tentu punya solusi. Carilah orang yang mungkin saja punya pendapat dan jalan pikiran yang beda. Perbedaan itu membuat otak berpikir kritis dalam membaca persoalan, sehingga sedikit demi sedikit diperoleh gambaran yang obyektif akan apa yang sebenarnya terjadi. Cara ini membantu menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.
Hanya, ada catatan penting, bahwa pola ini efektif membawa hasil jika ada kerendahan hati untuk mau mengakui dan bisa melihat sikap/tindakan diri sendiri yang menyebabkan terjadinya masalah. Sikap defensive, membuat apapun saran dan tawaran solusi, mental. Sebaliknya, sikap defensive, baik itu berupa keengganan menerima kritik, malu kalau kelihatan kurangnya, sehingga menutup diri atau diam-diam saja seolah tidak terjadi apa-apa, membuat masalah tidak selesai, meski dengan berlalunya waktu. Waktu tidak menyelesaikan persoalan.
2. Lakukan tanggung jawab kita
Tanggung jawab harian kita, adalah obat mujarab bagi setiap persoalan. Tanpa kegiatan, energy stuck, pikiran buntu, emosi membludak, kecemasan meningkat, kecurigaan dan pikiran negatif bertambah. Jadi, apa yang harus dilakukan, lakukanlah sebaik mungkin, seoptimal mungkin, bukan demi orang lain, tapi itu adalah anak tangga menuju jalan keluar dan kunci memelihara stamina mental serta memberikan therapeutic effect. Jadi, jangan hindari apalagi hentikan kegiatan yang jadi tugas kita dengan dalih 'sedang tidak mood'.
3. Jalani hobi dan kegiatan positif
Seperti uraian di atas, menekuni hobi adalah kegiatan nurturing our soul. Melepaskan tekanan, mengelola emosi dan menenangkan batin. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri dan bahkan mendengarkan petunjuk bijak Tuhan, justru saat asik mengerjakan hobi.
4. Berinisiatif untuk mencari solusi dan realisasikan dalam tindakan
Bergerak dan mengusahakan sekecil apapun tindakan, akan membawa perbedaan besar. Meskipun usahanya mentok, bukan berarti gagal, malah memberi pengetahuan baru bahwa perlu cara lain untuk melangkah berikutnya.
5. Membuka diri, mau melihat sisi lain
Ibarat belajar, jangan hanya membaca dari 1 buku atau 1 orang dan menganggap itu satu-satunya yang paling baik dan benar. Coba cari teori dan penjelasan lain tentang masalah yang dihadapi, bisa dengan bertanya pada profesional yang accessible, baik secara langsung maupun tak langsung (lewat email/internet) banyak web site yang menyediakan informasi yang dibutuhkan remaja untuk membantunya memahami, apa sih yang sebenarnya terjadi.
6. Membuka akses komunikasi yang baru
Membuka jalur-jalur komunikasi yang baru, merintis jalur kegiatan baru dan membuka diri terhadap orang-orang yang punya kepribadian positif. Remaja bisa banyak belajar dari orang-orang yang jauh lebih matang dalam kepribadian dan pengalaman; karena orang-orang itu juga pernah jadi remaja dan mengatasi kompleksitas kehidupan mereka saat itu.
7. Merubah kebiasaan
Tanpa sadar, banyak dari kebiasaan dan rutinitas yang malah memacetkan pertumbuhan kedewasaan dan penemuan diri. Rutinitas memang membuat nyaman, tapi jadi tidak sehat kalau kita takut merubah kebiasaan hanya karena takut kehilangan kenyamanan atau cemas menghadapi ketidakpastian dari sesuatu yang baru.
8. Berhenti meracuni diri sendiri
Banyak orang yang ketika sedang emosional, punya kebiasaan meracuni diri sendiri. Merokok, minum, narkoba, bahkan overeating atau malah tidak mau makan sama sekali, adalah tindakan meracuni diri. Tidak hanya itu, entertaining asumsi buruk, kecurigaan terhadap orang lain, berpikir negative tentang diri sendiri, memendam marah, sakit hati, sedih, benci dan iri, adalah bentuk lain dari meracuni diri. Berbagai hal itu perlu di kelola dan di buang dengan cara yang tepat dan sehat, supaya tidak berdampak negative buat diri sendiri maupun orang-orang di sekeliling kita. Istilah kerennya, GIGO – garbage in, garbage out. Kalau yang dimasukkan buruk, maka yang keluar juga buruk, pikiran buruk akan menghasilkan tindakan buruk, tindakan buruk akan menghasilkan reaksi buruk dari sekeliling. Mulailah bertindak selektif, kalau tidak positif – ya untuk apa di lakukan kalau nantinya hanya merugikan diri sendiri, apalagi orang lain.
9. Berpikir Positif
Prinsip yang harus di yakini, bahwa selama hidupnya, manusia pasti menghadapi masalah karena dari masalah kita belajar menjadi bijak, pandai dan dewasa. Jadi, krisis dan masalah bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari perjalanan, bekal dalam menempuh petualangan hidup. Carilah segi positif dari masalah yang sedang dihadapi, pasti ada manfaat di balik semua ini. Orang mengatakan “blessing in disguise”.
10. Bantulah orang lain!
Setiap orang pasti punya masalah, berat ringannya tergantung persepsi dan kemampuan masing-masing. Kita suka menganggap masalah kita yang paling berat, padahal banyak masalah teman-teman dan orang di sekeliling kita yang punya masalah jauh lebih berat. Kita tidak tahu karena kita tidak cukup membuka diri terhadap mereka, menyediakan diri untuk memahami kehidupan mereka. Pikiran kita terfokus pada masalah kita sendiri sampai tidak tahu kalau ada teman yang kesusahan atau tetangga yang perlu bantuan. Nah, buatlah diri kita berarti bagi orang lain. Tidak usah harus menjadi pahlawan, lakukan saja apa yang semestinya dan bisa kita lakukan untuk meringankan beban hidup orang lain. Kita bahagia kalau kita bisa membantu orang lain. Bukankah kita hidup di dunia ini untuk bisa membawa kebaikan dan berkah bagi sesama?
Meskipun masalah remaja begitu kompleks, namun di dunia ini juga sudah tersedia jawaban dan solusinya. Kuncinya, remaja perlu bereksplorasi dan proaktif dalam menempuh petualangan hidupnya. Ketakutan dan berbagai perasaan itu pasti ada, tapi jangan sampai dijadikan alasan untuk berhenti berjalan. Persoalan saat ini jangan menjadi akhir dari segalanya. Perjalanan hidup masih panjang, masih banyak petualangan menarik untuk dilalui. Pandai-pandai mengelola perasaan dan persoalan selama berpetualang, sementara jangan kehilangan focus ke masa depan. Teruslah melangkah dan nikmati setiap moment dalam hidup ini sebagai anugerah kehidupan.
Semoga bermanfaat!
Selasa, 22 Juni 2010
Ancaman Brainwash
Situs Wikipedia menjelaskan brainwash itu adalah serangkaian proses yang sistematik yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dengan metode yang barangkali tidak etis atau manipulatif, untuk merayu pihak lain supaya berjuang mengegolkan keinginan tertentu walaupun harus dengan cara yang menghancurkan pihak yang di-brainwash itu. Dalam proses brainwash, aktivitas yang terjadi antara lain: mengontrol pikiran, mencuci otak, mengkonstruksi ulang pemahaman seseorang, merayu seseorang dengan agak memaksa, menginstall pikiran seseorang dengan ideologi, fakta atau data, dan penjelasan yang sangat intens.
Meski awalnya teknik ini dipakai di dunia militer atau politik dalam mempertahankan regime, tapi pada perjalanannya, wilayah aplikasinya meluas. Banyak temuan yang berhasil mengungkap bahwa di balik aksi kekerasan yang selama ini mengancam kita, misalnya aksi bom bunuh diri dan lain-lain, terdapat keberhasilan proses brainwash yang dilakukan seseorang kepada pihak lain.
Keberhasilan brainwash memang sifatnya tidak instant. Ada upaya sistematik dalam memformulasi cerita atau pemahaman baru dari sebuah kenyataan yang disuguhkan kepada orang dengan ciri-ciri internal (profil psikologis) tertentu sehinga sangat match antara pemicu eksternal dan penentu internal. Dilihat dari karakteristik eksternal yang umum, negara kita termasuk tempat yang tidak sulit-sulit amat untuk melakukan aksi brainwash kepada pemuda untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang banyak. Dari mulai bom bunuh diri, kerusuhan massal, sampai demo anarkis memprotes hasil Pilkada.
Karakteristik eksternal itu misalnya wajah ketidakadilan sosial, penindasan, kesenjangan ekonomi, taraf pendidikan rata-rata penduduk, rendahnya kepercayaan pada pemerintah, wilayah gerak yang sangat luas, perbedaan agama, suku, ras, dan lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan semakin sungkannya pemerintah kita dengan isu HAM dan demokrasi.
Ini semua perlu dijadikan catatan bagi pemuda, orangtua, dan pemerintah. Pemuda perlu mewaspadai berbagai perangkap brainwash. Orangtua juga perlu memonitor kiprah anaknya di luar. Demikian juga pemeritah yang perlu terus mengurangi alasan-alasan kenapa bangsa gue mudah di-brainwash untuk menyerang tanah airnya sendiri.
Mengenali Tabiat Brainwasher
Selain pertanda di muka, aktivitas brainwash juga bisa dikenali dari tabiat dan gelagat orang-orangnya. Yang pertama-tama dilakukan para brainwasher adalah membuldoser konstruksi jatidiri, pemahaman, dan hubungan sosial korbannya, seperti rumah tua yang dirobohkan untuk rencana pembangunan gedung baru.
Tentu ada banyak cara bagaimana proses pembuldoseran itu dilaksanakan. Misalnya antara lain dengan mengeksploitasi berbagai kelemahan, kesalahan, kebodohan, dan ketidakberdayaan korban atau hal-hal negatif lainnya. Misalnya saya ingin mem-brainwash orang dari alasan agama, maka yang akan saya lakukan adalah membuktikan betapa banyaknya dosa orang itu, betapa sesatnya dia, dan seterusnya. Dengan asumsi bahwa orang itu sudah sering nangis-nangis depan saya, meminta hidayah dari saya, atau pendeknya sudah powerlessfull, maka saya mulai melakukan penawaran, seperti ahli bangunan yang menawarkan rancangan konstruksinya ke calon klien.
Sebagai brainwasher, tentu saya tidak serta merta akan menyetujui apa maunya klien. Saya akan minta syarat. Syarat yang umum biasanya antara lain: taat secara penuh, always Yes, mau mengisolasikan diri agar hubungannya dengan orang lain terputus dan mulai mengontrol hidup orang itu. Misalnya saya membuatkan rencana, agenda, dan membekalinya dengan logika yang sesuai dengan kepentingan saya.
Untuk memastikan pembuldoseran itu sukses, saya perlu menciptakan kondisi hubungan yang manipulatif. Misalnya, kalau dia mempertanyakan sesuatu, segera akan saya katakan dia keras kepala. Tapi kalau diam saja, akan saya katakan tidak kreatif. Jika dia curhat, akan saya katakan cengeng. Tapi kalau tidak mau curhat, akan saya katakan menyimpan kemunafikan. Dan seterusnya dan seterusnya.
Setelah pembuldoseran dan rekonstruksi dipastikan sukses, barulah saya mulai menggunakan jurus terakhir, dengan memujinya sebagai orang kuat, hebat, dan sudah layak untuk berbuat sesuatu. Tentu saya sudah menyiapkan agenda mengenai apa yang pas dilakukan orang itu sebagai simbol kekuatan, kemuliaan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.
Jika jurus terakhir ini meragukan saya, cara lain yang akan saya lakukan adalah memperpanjang masa kebingungan, frustasi, dan ketidakberdayaan korban hingga dia siap untuk marah terhadap keadaan. Ketika amarah sudah memuncak, tentu saya akan lebih mudah mengarahkan dia melakukan sesuatu demi kepentingan saya.
Meski dalam tulisan ini bisa dijelaskan secara simpel bagaimana proses brainwash itu berlangsung, tetapi dalam prakteknya tidak semua orang bisa melakukannya dengan sukses. Ada orang-orang tertentu yang sepertinya secara talenta dibekali skill yang bagus untuk mem-brainwash orang lain.
Terlepas alasan yang dipakai itu agama, sosial, atau apapun, tapi umumnya orang itu punya approach yang lembut, tahu siapa yang bisa, dan tahu apa yang perlu disembunyikan dan apa yang perlu dinyatakan. Selain itu, dia juga “pede” (percaya diri) untuk memimpinorang lain.
Siapa yang Paling Mudah Di-brainwash?
Siapakah yang paling mudah / berpotensi kena untuk di-brainwash? Dalam prakteknya, tentu tidak mudah untuk dijabarkan secara akurat dan definitif. Penjelasan di bawah ini hanya bisa dipakai petunjuk untuk mengantisipasi agar kita tidak mudah dijadikan incaran praktek brainwash untuk melakukan aksi brutal.
Jika mengacu ke istilah dalam psikologi, yang berpotensi kena di-brainwash adalah orang yang disebutnya dengan istilah mengalami mental illness, yang terjemahan kasarnya adalah penderita penyakit mental. Istilah ini memang agak sulit ditemukan definisinya yang pas dan bisa diterima di semua standar sosial dengan kriteria yang utuh. Secara umum, kita bisa menyebutnya abnormal.
Yang termasuk mudah terkena lagi adalah orang dengan kepribadian bermasalah (personality disorder). Bentuknya antara lain:
1. Kemampuannya sangat rendah untuk mengatasi masalah secara baik, masa bodoh dengan akibat perilakunya, atau suka melakukan kenekatan yang gila
2. Mudah meledak pada tingkatan yang sangat membahayakan (explosive)
3. Diam-diam tapi menyimpan gejolak yang membayakan (passive-aggressive)
4. Kaku, menyimpan dendam, dan sempit, dengan tuntutan yang kuat agar orang lain dan dunia ini harus berjalan sesuai ego-nya
5. Punya masalah hubungan sosial, isolasi diri, sulit menerima perbedaan, atau toleransinya rendah
6. Lainnya lagi adalah orang dengan tingkat protes atau sikap pemberontakan yang tinggi namun dalam taraf yang tidak sehat (patologis), ketahanan mentalnya rendah, mudah putus asa yang membuat dia sering berpikir “mati saja”.
Bila semua karakteristik di atas mendapatkan jodoh dari faktor eksternal yang sangat memicu, apinya gampang tersulut. Misalnya, merasa pernah diperlakukan tidak adil, hidupnya semakin susah, nothing to lose, jarang bertemu dengan orang / kelompok yang mencerahkan jiwanya atau mengembangkan kapasitasnya.
Akan lebih sempurna ledakannya apabila didukung dengan pendidikan yang rendah, status sosial yang termarjinalkan, dan makin banyaknya khutbah atau ceramah yang mengajak massa untuk marah kepada kenyataan tanpa diiringi dengan saran-saran yang bijak untuk menyikapi kenyataan secara kuat dengan logika yang didukung otak.
Supaya Tidak Mudah Terkena Brainwash
Apa ada orang yang kebal terhadap brainwash orang lain? Di teorinya, kita bisa menjawabnya secara hitam-putih. Tapi, dalam prakteknya, ini tidak jelas. Artinya, semua orang dapat berpotensi kena brainwash, terlepas ada yang mudah atau ada yang sulit.
Supaya kita tidak mudah terkena brainwash orang lain yang mengajak kita melakukan aksi pengrusakan yang nekat, latihan yang perlu kita lakukan antara lain:
Pertama, sebelum perasaan atau reaksi, berpedomanlah pada nilai-nilai personal, sosial atau universal yang sudah ditanam sejak kecil. Kita perlu berlatih untuk menjadikan ajaran, prinsip, atau nilai-nilai sebagai penggerak tindakan. Jangan melulu menuruti perasaan reaktif, pemahaman benar sendiri, atau kepentingan pribadi atau kelompok, meski ini terkadang tetap harus kita lakukan sebagai bukti bahwa kita bukan robot.
Kedua, berlatih menjadi orang yang toleran dan fleksibel. Tak berarti kalau kita keras dan anti toleransi itu kuat. Seringkali malah mudah patah ketika dihadapkan pada problem atau kenyataan. Kalau tidak patah, kita bisa membabi buta. Misalnya kita keras terhadap pemahaman keagamaan tertentu. Jika kerasnya itu melebihi batas, mungkin kita malah akan melanggar nilai-nilai agama. Supaya kita bisa toleran dan fleksibel, latihannya adalah memperluas dan mem-variatifkan pergaulan agar gesekan terjadi.
Ketiga, terbuka, tidak pernah fanatik terhadap pemikiran, konsep, sistem, atau paradigma berpikir yang lahir dari proses kreatif manusia. Kita hanya perlu fanatik pada nilai etika universal, semacam kejujuran, tanggungjawab, dan semisalnya, yang jumlahnya sedikit. Hasil proses kreatif manusia itu perlu kita gunakan sebagai referensi atau alat yang kita pilih untuk menghadapi keadaan tertentu yang bisa berubah kapan saja.
Banyak aksi kekerasan yang berlatar belakang paham agama karena pelakunya gagal membedakan mana yang wahyu dan mana yang hasil “proses kreatif” pemimpin agamanya. Fanatik terhadap konsep manajemen profesor anu, malah membuat kita tidak bernilai manajemen. Fanatik terhadap sistem demokrasi malah membuat kita tidak bernilai demokrasi. Fanatisme yang salah membuat kita sengsara sendiri.
Keempat, memperkuat logika hidup, dalam arti gunakan otak secara kritis dan analitis. Ini hanya bisa dilatih ketika kita semakin tersambung hubungan kita dengan diri sendiri, misalnya kita tahu apa tujuan kita, jalur hidup kita, nilai-nilai kita, orang yang pas untuk kita, apa yang kita perjuangkan, masalah kita, dan seterusnya. Jika kita blank terhadap diri sendiri, logika hidup kita gampang jebol atau gampang larut.
Kelima, berani mengatakan “TIDAK” pada ajakan, himbauan, saran, nasehat, pendekatan yang oleh akal sehat kita aneh, yang ciri-cirinya sudah kita singgung di muka.
Ciri Brainwash Yang Baik
Meski di berbagai literatur sudah dikatakan dengan jelas bahwa brainwash itu menggunakan teknik yang kurang etis dan manipulatif, tetapi mungkin dalam prakteknya ada yang bisa kita sebut brainwash, namun tetap etis dan tidak manipulatif. Sebut saja ini bahasa sosial yang keliru. Ciri fundamental yang dapat kita pedomani antara lain:
* · Jika itu mengedukasi kita. Edukasi berarti membuat kita menjadi diri sendiri dalam bentuk dan kualitas yang lebih bagus, bukan menghancurkan diri kita atau menjadikan kita sebagai korban ego-nya.
* · Jika itu menolang kita, dengan motif yang memang untuk menolong, misalnya membantu kita dari jeratan narkoba. Bila orang itu memanipulasi motifnya, manfaatkan saja pertolongannya atau Anda menolak pertolongannya
* · Jika itu mengembangkan kapasitas positif kita, misalnya ilmu, network, pengalaman, wawasan, pemahaman, dan seterusnya. Banyak ceramah agama, orasi sosial, atau kampanye politik yang hanya mengajak kita marah terhadap kenyataan, namun dianya sendiri tidak sedikit pun mau berkorban mengembangkan kapasitas positif kita. Kalau kita mengikutinya, kita sendiri yang salah. Anggap saja itu jualan atau bualan.
* · Jika itu mengajak kita mentaati perintah Tuhan, prinsip, atau nilai-nilai yang kebenarannya diterima akal sehat seluruh dunia, bukan mengajak kita mengikuti ego, nafsu, ambisi pribadinya.
Semoga bermanfaat.
Situs Wikipedia menjelaskan brainwash itu adalah serangkaian proses yang sistematik yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dengan metode yang barangkali tidak etis atau manipulatif, untuk merayu pihak lain supaya berjuang mengegolkan keinginan tertentu walaupun harus dengan cara yang menghancurkan pihak yang di-brainwash itu. Dalam proses brainwash, aktivitas yang terjadi antara lain: mengontrol pikiran, mencuci otak, mengkonstruksi ulang pemahaman seseorang, merayu seseorang dengan agak memaksa, menginstall pikiran seseorang dengan ideologi, fakta atau data, dan penjelasan yang sangat intens.
Meski awalnya teknik ini dipakai di dunia militer atau politik dalam mempertahankan regime, tapi pada perjalanannya, wilayah aplikasinya meluas. Banyak temuan yang berhasil mengungkap bahwa di balik aksi kekerasan yang selama ini mengancam kita, misalnya aksi bom bunuh diri dan lain-lain, terdapat keberhasilan proses brainwash yang dilakukan seseorang kepada pihak lain.
Keberhasilan brainwash memang sifatnya tidak instant. Ada upaya sistematik dalam memformulasi cerita atau pemahaman baru dari sebuah kenyataan yang disuguhkan kepada orang dengan ciri-ciri internal (profil psikologis) tertentu sehinga sangat match antara pemicu eksternal dan penentu internal. Dilihat dari karakteristik eksternal yang umum, negara kita termasuk tempat yang tidak sulit-sulit amat untuk melakukan aksi brainwash kepada pemuda untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang banyak. Dari mulai bom bunuh diri, kerusuhan massal, sampai demo anarkis memprotes hasil Pilkada.
Karakteristik eksternal itu misalnya wajah ketidakadilan sosial, penindasan, kesenjangan ekonomi, taraf pendidikan rata-rata penduduk, rendahnya kepercayaan pada pemerintah, wilayah gerak yang sangat luas, perbedaan agama, suku, ras, dan lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan semakin sungkannya pemerintah kita dengan isu HAM dan demokrasi.
Ini semua perlu dijadikan catatan bagi pemuda, orangtua, dan pemerintah. Pemuda perlu mewaspadai berbagai perangkap brainwash. Orangtua juga perlu memonitor kiprah anaknya di luar. Demikian juga pemeritah yang perlu terus mengurangi alasan-alasan kenapa bangsa gue mudah di-brainwash untuk menyerang tanah airnya sendiri.
Mengenali Tabiat Brainwasher
Selain pertanda di muka, aktivitas brainwash juga bisa dikenali dari tabiat dan gelagat orang-orangnya. Yang pertama-tama dilakukan para brainwasher adalah membuldoser konstruksi jatidiri, pemahaman, dan hubungan sosial korbannya, seperti rumah tua yang dirobohkan untuk rencana pembangunan gedung baru.
Tentu ada banyak cara bagaimana proses pembuldoseran itu dilaksanakan. Misalnya antara lain dengan mengeksploitasi berbagai kelemahan, kesalahan, kebodohan, dan ketidakberdayaan korban atau hal-hal negatif lainnya. Misalnya saya ingin mem-brainwash orang dari alasan agama, maka yang akan saya lakukan adalah membuktikan betapa banyaknya dosa orang itu, betapa sesatnya dia, dan seterusnya. Dengan asumsi bahwa orang itu sudah sering nangis-nangis depan saya, meminta hidayah dari saya, atau pendeknya sudah powerlessfull, maka saya mulai melakukan penawaran, seperti ahli bangunan yang menawarkan rancangan konstruksinya ke calon klien.
Sebagai brainwasher, tentu saya tidak serta merta akan menyetujui apa maunya klien. Saya akan minta syarat. Syarat yang umum biasanya antara lain: taat secara penuh, always Yes, mau mengisolasikan diri agar hubungannya dengan orang lain terputus dan mulai mengontrol hidup orang itu. Misalnya saya membuatkan rencana, agenda, dan membekalinya dengan logika yang sesuai dengan kepentingan saya.
Untuk memastikan pembuldoseran itu sukses, saya perlu menciptakan kondisi hubungan yang manipulatif. Misalnya, kalau dia mempertanyakan sesuatu, segera akan saya katakan dia keras kepala. Tapi kalau diam saja, akan saya katakan tidak kreatif. Jika dia curhat, akan saya katakan cengeng. Tapi kalau tidak mau curhat, akan saya katakan menyimpan kemunafikan. Dan seterusnya dan seterusnya.
Setelah pembuldoseran dan rekonstruksi dipastikan sukses, barulah saya mulai menggunakan jurus terakhir, dengan memujinya sebagai orang kuat, hebat, dan sudah layak untuk berbuat sesuatu. Tentu saya sudah menyiapkan agenda mengenai apa yang pas dilakukan orang itu sebagai simbol kekuatan, kemuliaan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.
Jika jurus terakhir ini meragukan saya, cara lain yang akan saya lakukan adalah memperpanjang masa kebingungan, frustasi, dan ketidakberdayaan korban hingga dia siap untuk marah terhadap keadaan. Ketika amarah sudah memuncak, tentu saya akan lebih mudah mengarahkan dia melakukan sesuatu demi kepentingan saya.
Meski dalam tulisan ini bisa dijelaskan secara simpel bagaimana proses brainwash itu berlangsung, tetapi dalam prakteknya tidak semua orang bisa melakukannya dengan sukses. Ada orang-orang tertentu yang sepertinya secara talenta dibekali skill yang bagus untuk mem-brainwash orang lain.
Terlepas alasan yang dipakai itu agama, sosial, atau apapun, tapi umumnya orang itu punya approach yang lembut, tahu siapa yang bisa, dan tahu apa yang perlu disembunyikan dan apa yang perlu dinyatakan. Selain itu, dia juga “pede” (percaya diri) untuk memimpinorang lain.
Siapa yang Paling Mudah Di-brainwash?
Siapakah yang paling mudah / berpotensi kena untuk di-brainwash? Dalam prakteknya, tentu tidak mudah untuk dijabarkan secara akurat dan definitif. Penjelasan di bawah ini hanya bisa dipakai petunjuk untuk mengantisipasi agar kita tidak mudah dijadikan incaran praktek brainwash untuk melakukan aksi brutal.
Jika mengacu ke istilah dalam psikologi, yang berpotensi kena di-brainwash adalah orang yang disebutnya dengan istilah mengalami mental illness, yang terjemahan kasarnya adalah penderita penyakit mental. Istilah ini memang agak sulit ditemukan definisinya yang pas dan bisa diterima di semua standar sosial dengan kriteria yang utuh. Secara umum, kita bisa menyebutnya abnormal.
Yang termasuk mudah terkena lagi adalah orang dengan kepribadian bermasalah (personality disorder). Bentuknya antara lain:
1. Kemampuannya sangat rendah untuk mengatasi masalah secara baik, masa bodoh dengan akibat perilakunya, atau suka melakukan kenekatan yang gila
2. Mudah meledak pada tingkatan yang sangat membahayakan (explosive)
3. Diam-diam tapi menyimpan gejolak yang membayakan (passive-aggressive)
4. Kaku, menyimpan dendam, dan sempit, dengan tuntutan yang kuat agar orang lain dan dunia ini harus berjalan sesuai ego-nya
5. Punya masalah hubungan sosial, isolasi diri, sulit menerima perbedaan, atau toleransinya rendah
6. Lainnya lagi adalah orang dengan tingkat protes atau sikap pemberontakan yang tinggi namun dalam taraf yang tidak sehat (patologis), ketahanan mentalnya rendah, mudah putus asa yang membuat dia sering berpikir “mati saja”.
Bila semua karakteristik di atas mendapatkan jodoh dari faktor eksternal yang sangat memicu, apinya gampang tersulut. Misalnya, merasa pernah diperlakukan tidak adil, hidupnya semakin susah, nothing to lose, jarang bertemu dengan orang / kelompok yang mencerahkan jiwanya atau mengembangkan kapasitasnya.
Akan lebih sempurna ledakannya apabila didukung dengan pendidikan yang rendah, status sosial yang termarjinalkan, dan makin banyaknya khutbah atau ceramah yang mengajak massa untuk marah kepada kenyataan tanpa diiringi dengan saran-saran yang bijak untuk menyikapi kenyataan secara kuat dengan logika yang didukung otak.
Supaya Tidak Mudah Terkena Brainwash
Apa ada orang yang kebal terhadap brainwash orang lain? Di teorinya, kita bisa menjawabnya secara hitam-putih. Tapi, dalam prakteknya, ini tidak jelas. Artinya, semua orang dapat berpotensi kena brainwash, terlepas ada yang mudah atau ada yang sulit.
Supaya kita tidak mudah terkena brainwash orang lain yang mengajak kita melakukan aksi pengrusakan yang nekat, latihan yang perlu kita lakukan antara lain:
Pertama, sebelum perasaan atau reaksi, berpedomanlah pada nilai-nilai personal, sosial atau universal yang sudah ditanam sejak kecil. Kita perlu berlatih untuk menjadikan ajaran, prinsip, atau nilai-nilai sebagai penggerak tindakan. Jangan melulu menuruti perasaan reaktif, pemahaman benar sendiri, atau kepentingan pribadi atau kelompok, meski ini terkadang tetap harus kita lakukan sebagai bukti bahwa kita bukan robot.
Kedua, berlatih menjadi orang yang toleran dan fleksibel. Tak berarti kalau kita keras dan anti toleransi itu kuat. Seringkali malah mudah patah ketika dihadapkan pada problem atau kenyataan. Kalau tidak patah, kita bisa membabi buta. Misalnya kita keras terhadap pemahaman keagamaan tertentu. Jika kerasnya itu melebihi batas, mungkin kita malah akan melanggar nilai-nilai agama. Supaya kita bisa toleran dan fleksibel, latihannya adalah memperluas dan mem-variatifkan pergaulan agar gesekan terjadi.
Ketiga, terbuka, tidak pernah fanatik terhadap pemikiran, konsep, sistem, atau paradigma berpikir yang lahir dari proses kreatif manusia. Kita hanya perlu fanatik pada nilai etika universal, semacam kejujuran, tanggungjawab, dan semisalnya, yang jumlahnya sedikit. Hasil proses kreatif manusia itu perlu kita gunakan sebagai referensi atau alat yang kita pilih untuk menghadapi keadaan tertentu yang bisa berubah kapan saja.
Banyak aksi kekerasan yang berlatar belakang paham agama karena pelakunya gagal membedakan mana yang wahyu dan mana yang hasil “proses kreatif” pemimpin agamanya. Fanatik terhadap konsep manajemen profesor anu, malah membuat kita tidak bernilai manajemen. Fanatik terhadap sistem demokrasi malah membuat kita tidak bernilai demokrasi. Fanatisme yang salah membuat kita sengsara sendiri.
Keempat, memperkuat logika hidup, dalam arti gunakan otak secara kritis dan analitis. Ini hanya bisa dilatih ketika kita semakin tersambung hubungan kita dengan diri sendiri, misalnya kita tahu apa tujuan kita, jalur hidup kita, nilai-nilai kita, orang yang pas untuk kita, apa yang kita perjuangkan, masalah kita, dan seterusnya. Jika kita blank terhadap diri sendiri, logika hidup kita gampang jebol atau gampang larut.
Kelima, berani mengatakan “TIDAK” pada ajakan, himbauan, saran, nasehat, pendekatan yang oleh akal sehat kita aneh, yang ciri-cirinya sudah kita singgung di muka.
Ciri Brainwash Yang Baik
Meski di berbagai literatur sudah dikatakan dengan jelas bahwa brainwash itu menggunakan teknik yang kurang etis dan manipulatif, tetapi mungkin dalam prakteknya ada yang bisa kita sebut brainwash, namun tetap etis dan tidak manipulatif. Sebut saja ini bahasa sosial yang keliru. Ciri fundamental yang dapat kita pedomani antara lain:
* · Jika itu mengedukasi kita. Edukasi berarti membuat kita menjadi diri sendiri dalam bentuk dan kualitas yang lebih bagus, bukan menghancurkan diri kita atau menjadikan kita sebagai korban ego-nya.
* · Jika itu menolang kita, dengan motif yang memang untuk menolong, misalnya membantu kita dari jeratan narkoba. Bila orang itu memanipulasi motifnya, manfaatkan saja pertolongannya atau Anda menolak pertolongannya
* · Jika itu mengembangkan kapasitas positif kita, misalnya ilmu, network, pengalaman, wawasan, pemahaman, dan seterusnya. Banyak ceramah agama, orasi sosial, atau kampanye politik yang hanya mengajak kita marah terhadap kenyataan, namun dianya sendiri tidak sedikit pun mau berkorban mengembangkan kapasitas positif kita. Kalau kita mengikutinya, kita sendiri yang salah. Anggap saja itu jualan atau bualan.
* · Jika itu mengajak kita mentaati perintah Tuhan, prinsip, atau nilai-nilai yang kebenarannya diterima akal sehat seluruh dunia, bukan mengajak kita mengikuti ego, nafsu, ambisi pribadinya.
Semoga bermanfaat.
Kamis, 10 Juni 2010
percuma aja ak nyoba cerita sma km..
ak cma bkal ganggu km,..
wlaupun drian gak ganggu km,,
ak msh ngerasa ak ganggu km,,
soal'a km masih pacaran sma dy...
mw masalah km tukeran bibir apa gak..km bilang gak apa ia pun sma aja..
ak gak tw..
ak gak ngomong bkal jauhin km kq..
km kali ngomong sendiri ak bkal jauhin km...
tpi ya terserah km..
ak ckup tw aja..
kmrn km bilang urus aja urusan masing"...
yudh..itu berarti ak gak blh tw tentang km lagi..
ttg km sma drian..
yudh gpp..
dripada ak cma jadi PENGANGGU km...
ak cma bkal ganggu km,..
wlaupun drian gak ganggu km,,
ak msh ngerasa ak ganggu km,,
soal'a km masih pacaran sma dy...
mw masalah km tukeran bibir apa gak..km bilang gak apa ia pun sma aja..
ak gak tw..
ak gak ngomong bkal jauhin km kq..
km kali ngomong sendiri ak bkal jauhin km...
tpi ya terserah km..
ak ckup tw aja..
kmrn km bilang urus aja urusan masing"...
yudh..itu berarti ak gak blh tw tentang km lagi..
ttg km sma drian..
yudh gpp..
dripada ak cma jadi PENGANGGU km...
Rabu, 09 Juni 2010
Diposting oleh
robertus agus pujiantoro
di
19.24
ak gpp kq,,
blogku juga knapa"...
ak emang udh susah mw cerita ke km,,,
sjak km jadian ma drian..
ak slalu inget kta" km yg bilang klo km gak bkal mw jadian ma drian...
tpi trnyata...
km jadian juga...
ak gak ngertoi mw gimana lagi...
ak gak ngerti apa maksud km jadian ma drian...
jujur jeng...
ak skit hati...
ak mls klo gni...
tpi ak nyoba terus sbar..
terus nganggap klo gak ada apa"...
tpi ternyata ak gak bisa..
knyataan'a km udh jadi milik drian...
bkan ak...
gak seharusnya ak ganggu km,,,
ak ngerti jeng..
knapa km marah" terus sma ak..
knapa km gak pnah sbar lagi ngadepin ak...
ak ngerti ak bukan siapa" km...
ak ngerti ak ganggu km...
maaf ya...
ak gak bisa ksh km email lagi...
ak slalu ngerasa km aneh klo di email...
km udh sepenuhnya peduli sma drian...
giliran sma ak..
km marah" terus...
km gak sabaran...km aneh...
tpi itu mungkin prasaan ak aja...
gak ush km peduliin juga gpp kq...
ak gpp..
ak cuma sedih...
blogku juga knapa"...
ak emang udh susah mw cerita ke km,,,
sjak km jadian ma drian..
ak slalu inget kta" km yg bilang klo km gak bkal mw jadian ma drian...
tpi trnyata...
km jadian juga...
ak gak ngertoi mw gimana lagi...
ak gak ngerti apa maksud km jadian ma drian...
jujur jeng...
ak skit hati...
ak mls klo gni...
tpi ak nyoba terus sbar..
terus nganggap klo gak ada apa"...
tpi ternyata ak gak bisa..
knyataan'a km udh jadi milik drian...
bkan ak...
gak seharusnya ak ganggu km,,,
ak ngerti jeng..
knapa km marah" terus sma ak..
knapa km gak pnah sbar lagi ngadepin ak...
ak ngerti ak bukan siapa" km...
ak ngerti ak ganggu km...
maaf ya...
ak gak bisa ksh km email lagi...
ak slalu ngerasa km aneh klo di email...
km udh sepenuhnya peduli sma drian...
giliran sma ak..
km marah" terus...
km gak sabaran...km aneh...
tpi itu mungkin prasaan ak aja...
gak ush km peduliin juga gpp kq...
ak gpp..
ak cuma sedih...
maaf ya klo ak ganggu hubungan km,,
ak gak niat ganggu hub km,,
klo km mw ak gak ganggu km,,ak mw kq gak ganggu km,,
maaf ya ak bikin km marah" terus...
ak tw ak salah...
ak tw ak gak bner ganggu hubungan km sma drian...
ak terlalu ikut campur urusan km,,
maksud ak gtu,,
ak cma mw tw kabar km,,
km sneng gak sma drian...
gak maksud ganggu km,,bwt ngerebut km dari dy..
ak emang masih sayang sma km...
tpi klo km emang sayang sma drian,,ak gak keberatan kq...
klo km minta ak pergi,,ak gak keberatan,,
asal ak ngeliat km seneng,,
ak pengen liat km seneng krna ada yg syang sma km...
ak sneng klo km pnya org yg km sayang n sayang sma km..
klo ak udh liat km punya itu,,km mw nyuruh ak pergi ya gpp..
km mw minta ak nyusul michael juga gpp...
ak cma pngn km tw jeng...
ak pnya mimpi buruk,,udh berminggu-minggu ak mimpiin itu..
ak kecelakaan naik motor..
ak cma pengen km tw,,
ak stres krna itu..
ak gak tw itu pertanda apa...
tpi ak mw ak sendiri yang cari tw itu pertanda apa...
ya wlaupun ak gak tw nanti'a ak bkal knapa...
ak gak mw bwt sahabat ak terus nyariin ak lwat mimpi ak itu..
ak gak mw..
ak mw nyari dy,,
ak mw ngomong sma dy...
ak punya bnyak pikiran tentang dy...
ak slalu mw cerita ini ke km..
tpi tiap ak mw cerita km selalu marah sma ak,,bkin ak takut mw cerita sma km...
bkin ak akhirnya mendam sendiri cerita ini...
bkin ak ktakutan sendiri..
tpi km gak slah kq,,
org ak juga kan jeng yg ganggu km?..
km udh pnya cwo..terserah km klo km mw gak pduli sma ak..
ak bkan siapa" km,,,
ak gak berhak ngatur" km jeng...
ak cuma sedih kq..
ak cma kesepian,,ak ngerasa sendiri...
ak cma mw punya tmen cerita..pnya org yg ak syang...
ak cma pngen itu..gak lebih...
maaf ya jeng,,ak selalu slah di mata km...
ak gak niat ganggu hub km,,
klo km mw ak gak ganggu km,,ak mw kq gak ganggu km,,
maaf ya ak bikin km marah" terus...
ak tw ak salah...
ak tw ak gak bner ganggu hubungan km sma drian...
ak terlalu ikut campur urusan km,,
maksud ak gtu,,
ak cma mw tw kabar km,,
km sneng gak sma drian...
gak maksud ganggu km,,bwt ngerebut km dari dy..
ak emang masih sayang sma km...
tpi klo km emang sayang sma drian,,ak gak keberatan kq...
klo km minta ak pergi,,ak gak keberatan,,
asal ak ngeliat km seneng,,
ak pengen liat km seneng krna ada yg syang sma km...
ak sneng klo km pnya org yg km sayang n sayang sma km..
klo ak udh liat km punya itu,,km mw nyuruh ak pergi ya gpp..
km mw minta ak nyusul michael juga gpp...
ak cma pngn km tw jeng...
ak pnya mimpi buruk,,udh berminggu-minggu ak mimpiin itu..
ak kecelakaan naik motor..
ak cma pengen km tw,,
ak stres krna itu..
ak gak tw itu pertanda apa...
tpi ak mw ak sendiri yang cari tw itu pertanda apa...
ya wlaupun ak gak tw nanti'a ak bkal knapa...
ak gak mw bwt sahabat ak terus nyariin ak lwat mimpi ak itu..
ak gak mw..
ak mw nyari dy,,
ak mw ngomong sma dy...
ak punya bnyak pikiran tentang dy...
ak slalu mw cerita ini ke km..
tpi tiap ak mw cerita km selalu marah sma ak,,bkin ak takut mw cerita sma km...
bkin ak akhirnya mendam sendiri cerita ini...
bkin ak ktakutan sendiri..
tpi km gak slah kq,,
org ak juga kan jeng yg ganggu km?..
km udh pnya cwo..terserah km klo km mw gak pduli sma ak..
ak bkan siapa" km,,,
ak gak berhak ngatur" km jeng...
ak cuma sedih kq..
ak cma kesepian,,ak ngerasa sendiri...
ak cma mw punya tmen cerita..pnya org yg ak syang...
ak cma pngen itu..gak lebih...
maaf ya jeng,,ak selalu slah di mata km...
I finally found someone, that knocks me off my feet
I finally found the one, that makes me feel complete
We started over coffee, we started out as friends
It’s funny how from simple things, the best things begin
This time it’s different
It’s all because of you
It’s better than it’s ever been
‘Cause we can talk it through
Oohh, my favorite line was “Can I call you sometime ?”
It’s all you had to say
To take my breath away
This is it, oh, I finally found someone
Someone to share my life
I finally found the one, to be with every night
‘Cause whatever I do
It’s just got to be you
My life has just begun
I finally found someone
Did I keep you waiting, I didn’t mind
I apologize, baby, that’s fine
I would wait forever
Just to know you were mine
You know I love your hair, are you sure it looks right ?
I love what you wear, isn’t it the time ?
You’re exceptional
I can’t wait for the rest of my life . . .
This is it, oh, I finally found someone
Someone to share my life
I finally found the one, to be with every night
‘Cause whatever I do
It’s just got to be you
My life has just begun
I finally found someone
Whatever I do
It’s just got to be you
My life has just begun
I finally found someonei
I finally found the one, that makes me feel complete
We started over coffee, we started out as friends
It’s funny how from simple things, the best things begin
This time it’s different
It’s all because of you
It’s better than it’s ever been
‘Cause we can talk it through
Oohh, my favorite line was “Can I call you sometime ?”
It’s all you had to say
To take my breath away
This is it, oh, I finally found someone
Someone to share my life
I finally found the one, to be with every night
‘Cause whatever I do
It’s just got to be you
My life has just begun
I finally found someone
Did I keep you waiting, I didn’t mind
I apologize, baby, that’s fine
I would wait forever
Just to know you were mine
You know I love your hair, are you sure it looks right ?
I love what you wear, isn’t it the time ?
You’re exceptional
I can’t wait for the rest of my life . . .
This is it, oh, I finally found someone
Someone to share my life
I finally found the one, to be with every night
‘Cause whatever I do
It’s just got to be you
My life has just begun
I finally found someone
Whatever I do
It’s just got to be you
My life has just begun
I finally found someonei
Selasa, 08 Juni 2010
Senin, 07 Juni 2010
Terlalu Permisif
Masyarakat Indonesia sangat permisif dalam masalah merokok, meskipun telah memiliki Pasal 24 PP no.81/ 1999 yang menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok, dan Peraturan Pemerintah no.38 th.2000 yang menyatakan bahwa rokok tidak boleh diiklankan di media elektronik antara pukul 05.00-21.30 WIB, (Kompas,2001).
Seorang konsultan WHO dan Australia, Dr. Matthew Allen, pada bulan April 2001 menyatakan bahwa tingginya tingkat rokok dan penerimaan terhadap rokok pasif merupakan hambatan utama dan pertama bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia. Allen menyatakan terdapat 7 (tujuh) hambatan bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia, yaitu;
1. Tidak adanya pengetahuan di kalangan perokok tentang resiko merokok
2. Tidak cukupnya pengetahuan badan-badan pemerintah dan LSM, yaitu pengendalian rokok bagi kesehatan dan perekonomian, serta taktik-taktik menyesatkan yang dipakai oleh industri rokok
3. Tidak adanya komitmen oleh para politisi dan departemen pemerintah
4. Adanya kerancuan wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Departemen Kesehatan dan Departemen Kesejahteraan Sosial
5. Kuatnya sektor industri rokok
6. Desentralisasi dan tidak adanya kerangka kerja di daerah untuk mengimplementasikan perangkat pengendalian rokok
7. Tak ada dana untuk membuat kampanye tandingan dan program pengendalian lainnya. (Kompas, 2001)
Melihat perkembangan kebiasaan merokok Indonesia yang semakin lama semakin parah, nampaknya harapan untuk menanggulangi masalah ini semakin tipis, namun sebenarnya hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan karena beberapa negara telah menerapkan aturan cukup keras baik bagi para perokok maupun industri rokok. Singapura menerapkan ruang publik sebagai kawasan bebas rokok, mesin penjual rokok dinyatakan ilegal dan melarang perusahaan rokok menjadi sponsor even publik (Oskamp & Schultz, 1998)
Negara-negara Unieropa mencanangkan kampanye anti rokok dengan slogan; "Feel Free to Say No!" yang diluncurkan bertepatan dengan momen piala dunia 2002 serta didukung sejumlah pemain bola terkenal seperti Luis Figo, Zinadine Zidane, Paolo Maldini,dll. Sementara dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau sedunia (31 Mei 2002), Meksiko mengumumkan akan melarang semua iklan rokok dari radio dan televisi mulai 2003. Secara perlahan-lahan penjualan rokok di toko-toko obat akan dikurangi dan peringatan bahwa bahaya rokok akan diwajibkan untuk dipasang di depan, bukan di belakang seperti sekarang. (Kompas, 2002)
Jurus Kelit Industri Rokok
Bagaimana perokok dan industri rokok dapat terus "hidup" dan berkembang mengambil ruang gerak dan nafas di Indonesia ?
Moral Exclusion
Jika moral berada dalam ruang keadilan, moral exclusion sangat berbeda (kontras), yang merupakan rasionalisasi, jastifikasi kesalahan atau sesuatu yang membahayakan. Dalam konflik lingkungan, moral exclusion sulit untuk dideteksi, hal ini disebabkan juga oleh adanya dukungan konvensi sosial. Analisa gejala moral exclusion dalam konflik lingkungan mengindikasikan bahwa moral exclusion dapat digolongkan dalam tiga bentuk penyangkalan (denial); simptom moral exclusion, yaitu;
1. Outcome Severity (hasil rumit)
a. disbenefit (kerugian berat); pihak tertentu (negara atau perusahaan) menolak penanggulangan masalah tertentu dengan berkelit hal tersebut dapat mendatangkan kerugian besar
b. sains; memanfaatkan sains untuk tujuan tertentu, menjadikan sains sebagai alasan, misalnya perlunya waktu untuk meneliti masalah tertentu.
2. Stakeholder
a. outsider; menempatkan diri pada pihak lawan (contoh; menganggap peraturan sebagai lawan)
b. ekstrimis; pihak yang menetang sesuatu secara radikal
3. Keterlibatan Diri
a. self exclusion; mengelak tanggung jawab personal (contoh; "Bukan hanya saya yang merokok di ruang ini.")
b. Reluctant participation; pihak tertentu menolak berpartisipasi dalam penanggulangan masalah polusi udara namun tetap menggunakan alasan kemanusiaan dalam usahanya (contoh; industri rokok menjadi sponsor even olahraga) (Opotow & Weiss, 2000)
Riset dalam Psikologi Sosial Seputar Perilaku Merokok
Banyak riset perilaku merokok dilakukan dalam psikologi sosial, Surgeon General Report 1964 menyatakan bahwa faktor psikologi merupakan faktor krusial untuk memahami rokok.
Tahapan seseorang menjadi perokok tetap (Laventhal & Cleary;1980, Flay;1993);
1. Persiapan; sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan bayangan tentang seperti apa rokok itu.
2. Inisiasi (initiation); reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. (Sayangnya hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok)
3. Menjadi perokok; melibatkan suatu proses "concept formation" , seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya.
4. Perokok tetap; terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku merokok.
Faktor Psikologis;
1. Kebiasaan (terlepas dari motif positif atau negatif)
2. Untuk menghasilkan reaksi emosi positif (kenikmatan, dsb)
3. Untuk mengurangi reaksi emosi negatif (cemas, tegang, dsb)
4. Alasan sosial (penerimaan kelompok)
5. Ketergantungan (memenuhi keinginan/ kebutuhan dari dalam diri) (Oskamp & Schultz, 1998)
Proses Biologis
Nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang. (Mutadin, 2002)
Lemahnya kesadaran dan pengetahuan perokok
Kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi, jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka. Dengan begitu, mereka juga menyamarkan "kesalahan" dan "penyebaran racun" yang dilakukan.
Industri rokok mempunyai kekuatan finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak iklan rokok melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan suasana club disko.
Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan, sementara rokok itu sendiri menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi, sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.
Sementara industri rokok bersembunyi dibalik berbagai slogan "mulia" nya, perokok pun tidak ketinggalan menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi perokok untuk berkelit, "Tempat umum kok, saya punya hak," dan ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.
Tempat Merokok = Mencerminkan Pola Perilaku Perokok
Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam merokok.
1. Merokok di ruang publik
- Kelompok homogen (sesama perokok); Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.
- Kelompok heterogen (merokok ditengah orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar "racun" pada orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat bersifat pribadi
- kantor atau kamar tidur pribadi; tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gellisah yang mencekam
- toilet; tergolong orang suka berfantasi. (Mu'tadin,2002)
Perilaku industri rokok dan perokok yang merugikan orang lain seharusnya dapat diminimalisasi seperti di beberapa negara seperti Singapura, Meksiko dan Unieropa, namun agaknya pemerintah masih "setengah hati" dalam menyelamatkan nyawa orang banyak.
Salah satu alasan utama pemerintah tidak melarang keras rokok adalah karena pertimbangan besarnya kontribusi dari pajak industri tersebut. Amerika Serikat (1990) mengumpulkan lebih dari 4 $ milyar dari pajak rokok dari 16 sen pajak dalam tiap pak (20 batang), Perancis (1992) mengumpulkan 2.3$ milyar dari pajak rokok (Oskamp & Schultz,1998)
Indonesia sendiri telah mempunyai peraturan tentang rokok, kini tergantung pada pemerintah untuk disiplin dan konsisten menjalankannya, disamping usaha masyarakat untuk lebih menggaungkan kampanye anti rokok serta sikap asertif (tegas) masyarakat terhadap perokok terutama di ruang publik. Perlu upaya ekstra keras dan strategi yang tepat untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa merokok itu memang hak asasi bagi perokok, namun udara bersih yang tak dicemari asap rokok juga adalah hak asasi manusia (HAM) (Kompas, 2001)
Masyarakat Indonesia sangat permisif dalam masalah merokok, meskipun telah memiliki Pasal 24 PP no.81/ 1999 yang menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok, dan Peraturan Pemerintah no.38 th.2000 yang menyatakan bahwa rokok tidak boleh diiklankan di media elektronik antara pukul 05.00-21.30 WIB, (Kompas,2001).
Seorang konsultan WHO dan Australia, Dr. Matthew Allen, pada bulan April 2001 menyatakan bahwa tingginya tingkat rokok dan penerimaan terhadap rokok pasif merupakan hambatan utama dan pertama bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia. Allen menyatakan terdapat 7 (tujuh) hambatan bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia, yaitu;
1. Tidak adanya pengetahuan di kalangan perokok tentang resiko merokok
2. Tidak cukupnya pengetahuan badan-badan pemerintah dan LSM, yaitu pengendalian rokok bagi kesehatan dan perekonomian, serta taktik-taktik menyesatkan yang dipakai oleh industri rokok
3. Tidak adanya komitmen oleh para politisi dan departemen pemerintah
4. Adanya kerancuan wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Departemen Kesehatan dan Departemen Kesejahteraan Sosial
5. Kuatnya sektor industri rokok
6. Desentralisasi dan tidak adanya kerangka kerja di daerah untuk mengimplementasikan perangkat pengendalian rokok
7. Tak ada dana untuk membuat kampanye tandingan dan program pengendalian lainnya. (Kompas, 2001)
Melihat perkembangan kebiasaan merokok Indonesia yang semakin lama semakin parah, nampaknya harapan untuk menanggulangi masalah ini semakin tipis, namun sebenarnya hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan karena beberapa negara telah menerapkan aturan cukup keras baik bagi para perokok maupun industri rokok. Singapura menerapkan ruang publik sebagai kawasan bebas rokok, mesin penjual rokok dinyatakan ilegal dan melarang perusahaan rokok menjadi sponsor even publik (Oskamp & Schultz, 1998)
Negara-negara Unieropa mencanangkan kampanye anti rokok dengan slogan; "Feel Free to Say No!" yang diluncurkan bertepatan dengan momen piala dunia 2002 serta didukung sejumlah pemain bola terkenal seperti Luis Figo, Zinadine Zidane, Paolo Maldini,dll. Sementara dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau sedunia (31 Mei 2002), Meksiko mengumumkan akan melarang semua iklan rokok dari radio dan televisi mulai 2003. Secara perlahan-lahan penjualan rokok di toko-toko obat akan dikurangi dan peringatan bahwa bahaya rokok akan diwajibkan untuk dipasang di depan, bukan di belakang seperti sekarang. (Kompas, 2002)
Jurus Kelit Industri Rokok
Bagaimana perokok dan industri rokok dapat terus "hidup" dan berkembang mengambil ruang gerak dan nafas di Indonesia ?
Moral Exclusion
Jika moral berada dalam ruang keadilan, moral exclusion sangat berbeda (kontras), yang merupakan rasionalisasi, jastifikasi kesalahan atau sesuatu yang membahayakan. Dalam konflik lingkungan, moral exclusion sulit untuk dideteksi, hal ini disebabkan juga oleh adanya dukungan konvensi sosial. Analisa gejala moral exclusion dalam konflik lingkungan mengindikasikan bahwa moral exclusion dapat digolongkan dalam tiga bentuk penyangkalan (denial); simptom moral exclusion, yaitu;
1. Outcome Severity (hasil rumit)
a. disbenefit (kerugian berat); pihak tertentu (negara atau perusahaan) menolak penanggulangan masalah tertentu dengan berkelit hal tersebut dapat mendatangkan kerugian besar
b. sains; memanfaatkan sains untuk tujuan tertentu, menjadikan sains sebagai alasan, misalnya perlunya waktu untuk meneliti masalah tertentu.
2. Stakeholder
a. outsider; menempatkan diri pada pihak lawan (contoh; menganggap peraturan sebagai lawan)
b. ekstrimis; pihak yang menetang sesuatu secara radikal
3. Keterlibatan Diri
a. self exclusion; mengelak tanggung jawab personal (contoh; "Bukan hanya saya yang merokok di ruang ini.")
b. Reluctant participation; pihak tertentu menolak berpartisipasi dalam penanggulangan masalah polusi udara namun tetap menggunakan alasan kemanusiaan dalam usahanya (contoh; industri rokok menjadi sponsor even olahraga) (Opotow & Weiss, 2000)
Riset dalam Psikologi Sosial Seputar Perilaku Merokok
Banyak riset perilaku merokok dilakukan dalam psikologi sosial, Surgeon General Report 1964 menyatakan bahwa faktor psikologi merupakan faktor krusial untuk memahami rokok.
Tahapan seseorang menjadi perokok tetap (Laventhal & Cleary;1980, Flay;1993);
1. Persiapan; sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan bayangan tentang seperti apa rokok itu.
2. Inisiasi (initiation); reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. (Sayangnya hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok)
3. Menjadi perokok; melibatkan suatu proses "concept formation" , seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya.
4. Perokok tetap; terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku merokok.
Faktor Psikologis;
1. Kebiasaan (terlepas dari motif positif atau negatif)
2. Untuk menghasilkan reaksi emosi positif (kenikmatan, dsb)
3. Untuk mengurangi reaksi emosi negatif (cemas, tegang, dsb)
4. Alasan sosial (penerimaan kelompok)
5. Ketergantungan (memenuhi keinginan/ kebutuhan dari dalam diri) (Oskamp & Schultz, 1998)
Proses Biologis
Nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang. (Mutadin, 2002)
Lemahnya kesadaran dan pengetahuan perokok
Kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi, jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka. Dengan begitu, mereka juga menyamarkan "kesalahan" dan "penyebaran racun" yang dilakukan.
Industri rokok mempunyai kekuatan finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak iklan rokok melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan suasana club disko.
Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan, sementara rokok itu sendiri menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi, sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.
Sementara industri rokok bersembunyi dibalik berbagai slogan "mulia" nya, perokok pun tidak ketinggalan menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi perokok untuk berkelit, "Tempat umum kok, saya punya hak," dan ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.
Tempat Merokok = Mencerminkan Pola Perilaku Perokok
Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam merokok.
1. Merokok di ruang publik
- Kelompok homogen (sesama perokok); Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.
- Kelompok heterogen (merokok ditengah orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar "racun" pada orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat bersifat pribadi
- kantor atau kamar tidur pribadi; tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gellisah yang mencekam
- toilet; tergolong orang suka berfantasi. (Mu'tadin,2002)
Perilaku industri rokok dan perokok yang merugikan orang lain seharusnya dapat diminimalisasi seperti di beberapa negara seperti Singapura, Meksiko dan Unieropa, namun agaknya pemerintah masih "setengah hati" dalam menyelamatkan nyawa orang banyak.
Salah satu alasan utama pemerintah tidak melarang keras rokok adalah karena pertimbangan besarnya kontribusi dari pajak industri tersebut. Amerika Serikat (1990) mengumpulkan lebih dari 4 $ milyar dari pajak rokok dari 16 sen pajak dalam tiap pak (20 batang), Perancis (1992) mengumpulkan 2.3$ milyar dari pajak rokok (Oskamp & Schultz,1998)
Indonesia sendiri telah mempunyai peraturan tentang rokok, kini tergantung pada pemerintah untuk disiplin dan konsisten menjalankannya, disamping usaha masyarakat untuk lebih menggaungkan kampanye anti rokok serta sikap asertif (tegas) masyarakat terhadap perokok terutama di ruang publik. Perlu upaya ekstra keras dan strategi yang tepat untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa merokok itu memang hak asasi bagi perokok, namun udara bersih yang tak dicemari asap rokok juga adalah hak asasi manusia (HAM) (Kompas, 2001)
I don't wanna see you cry again
Missed the pot of gold at rainbows end
cease the day you try to fly and fall
I just want to see you standing tall
I don't want to see you cry once more
Careful of the world by shutting doors
Not a bit affeted by the crowd
I only want to see you standing proud
Tell me where it hurts
And I will ease your pain
Through the stormy hurl
I'll shield you from the rain
Gonna find what's wrong
I'm gonna make it right
Hoping with my song
There'd be no need to cry
And though you've shed
A thousand tears before
I don't want to see
You cry once more
And though it's been a while
Since your last grin
I just want to see you smile again
Together dreaming dreams
Of a brighter tomorrow
With hopes from day to day
Rid ourselves of the sorrow
We'll make this world
A better place to live
I don't want to see you cry again
I don't want to see another tear
Knowing that it flows from pain and fear
Rather I will show you how to live
Even if it takes my life to give
Missed the pot of gold at rainbows end
cease the day you try to fly and fall
I just want to see you standing tall
I don't want to see you cry once more
Careful of the world by shutting doors
Not a bit affeted by the crowd
I only want to see you standing proud
Tell me where it hurts
And I will ease your pain
Through the stormy hurl
I'll shield you from the rain
Gonna find what's wrong
I'm gonna make it right
Hoping with my song
There'd be no need to cry
And though you've shed
A thousand tears before
I don't want to see
You cry once more
And though it's been a while
Since your last grin
I just want to see you smile again
Together dreaming dreams
Of a brighter tomorrow
With hopes from day to day
Rid ourselves of the sorrow
We'll make this world
A better place to live
I don't want to see you cry again
I don't want to see another tear
Knowing that it flows from pain and fear
Rather I will show you how to live
Even if it takes my life to give
Lirik Lagu Sheila On 7 – Dan
C#
Dan…
Cm Bbm
Bila esok, datang kembali
G#
Seperti sedia kala
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
Dimana kau bisa bercanda
C#
Dan…
Cm Bbm G#
Perlahan kau pun, lupakan aku mimpi burukmu
C#m
Dimana t’lah kutancapkan duri tajam
Cm Bbm Eb
Kaupun menangis, menangis sedih
Fm
Maafkan aku…
C#
Dan…
Cm Bbm G#
Bukan maksudku, bukan inginku melukaimu
C#
Sadarkah kau di sini kupun terluka
Cm Bbm Eb
Melupakanmu, menepikanmu
Fm Eb
Maafkan aku…
Reff :
G#
Lupakanlah saja diriku
Cm
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar
Bbm F# Eb
Dan berpijar seperti dulu kala
G#
Caci maki saja diriku
Cm
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar
Bbm F# Eb
Dan berpijar seperti dulu kala
C#
Dan…
Cm Bbm
Bila esok, datang kembali
G#
Seperti sedia kala
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
Dimana kau bisa bercanda
C#
Dan…
Cm Bbm G#
Perlahan kau pun, lupakan aku mimpi burukmu
C#m
Dimana t’lah kutancapkan duri tajam
Cm Bbm Eb
Kaupun menangis, menangis sedih
Fm
Maafkan aku…
C#
Dan…
Cm Bbm G#
Bukan maksudku, bukan inginku melukaimu
C#
Sadarkah kau di sini kupun terluka
Cm Bbm Eb
Melupakanmu, menepikanmu
Fm Eb
Maafkan aku…
Reff :
G#
Lupakanlah saja diriku
Cm
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar
Bbm F# Eb
Dan berpijar seperti dulu kala
G#
Caci maki saja diriku
Cm
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar
Bbm F# Eb
Dan berpijar seperti dulu kala
Minggu, 06 Juni 2010
pagi ini aku mendengarkan sebuah cerita, begini ceritanya. Pada suatu hari ada seorang ibu yang sangat saleh. ibu tersebut rajin pergi ke gereja, rajin mengikuti acara-acara gereja dsb. namun ia amat rindu untuk bertemu dengan Tuhan Yesus. lalu pada suatu hari, ia menelpon Yesus. " Halo Yesus?"...dan Yesus pun menjawab, " ia ini Aku". Lalu ibu tersebut berkata lagi " yesus kq udah lama gak pernah dateng kerumahku lagi?". Yesus pun menjawab, " baiklah Aku akan datang ke rumahmu, persiapkanlah kedatanganKu.".
Lalu si ibu tersebut mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk menyambut Yesus datang ke rumahnya. setelah ibu tersebut selesai mempersiapkan segalanya ibu tersebut menunggu kedatangan Yesus.
Tiba-tiba, setelah beberapa saat menunggu ada yang mengetuk pintu rumahnya. dengan senang hati si ibu tersebut membukakan pintu, karena ia mengira yesuslah yang datang ke rumahnya. namun, pada saat pintu telah dibuka, bukan Yesus yang ia lihat melainkan seorang pengemis tua yang datang meminta sedekah. si ibu yang melihat hal itu langsung mengusir pengemis tua itu, katanya " maaf pak saya sedang sibuk menunggu Yesus". lalu si pengemis itu pun pergi.
beberapa saat setelah pengemis itu pergi datanglah seorang anak miskin yang tidak mempunyai apa-apa, datng ke rumah si ibu tersebut untuk meminta makan. dengan sewot ibu tersebut mengusir si anak " pergi kamu ".
tidak lama kemudian setelah anak tersebut pergi, datanglah seorang kakek tua yang miskin, lumpuh, dan lapar datang ke rumah ibu tersebut. dengan kasar pula si ibu mengusir kakek tersebut katanya " pergi, saya sedang menunggu Yesus, saya tidak mau pertemuan saya terganggu apalagi oleh orsang yang seperti anda". lalu sang kakek itu pun pergi.
setelah beberapa lama menunggu, si ibu mulai bosan dan akhirnya menelpon Yesus lagi. " Halo Yesus, kq Yesus tidak datang ke rumah saya?". jawab Yesus, " Aku sudah datang ke rumahmu dalam 3 wujud yang berbeda, namun kamu menolakku".
refleksi, menurut anda seperti apakah rupa Yesus?. apakah beranbut gondrong?, jenggotan? atau apa?. pasti banyak sekali deskripsi anda tentang Yesus. dari cerita di atas terlihat pandangan si ibu akan rupa Yesus hanya sebatas apa yang ia lihat di gereja, atau di gambar-gambar Yesus lainnya. mata si ibu tersebut tertutup akan wujud-wujud Yesus, sebagai seorang hamba, pengemis, anak kecil dan yang lainnya. Sahabat, pernahkah kita merasa rendah hati pada orang banyak?. pernahkah kita memandang orang lain hanya dari penampilannya saja. Sahabat, Yesus datang ke dunia dengan berbagai wujud dan rupa, bisa dalam rupa seorag ayah, ibu, sahabat, pacar, atau bahkan seorang pengemis sekalipun. Tugas kita di dunia adalah tetaplah menjadi rendah hati, kepada siapapun orang yang kita temui di sekitar kita. amin.
Lalu si ibu tersebut mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk menyambut Yesus datang ke rumahnya. setelah ibu tersebut selesai mempersiapkan segalanya ibu tersebut menunggu kedatangan Yesus.
Tiba-tiba, setelah beberapa saat menunggu ada yang mengetuk pintu rumahnya. dengan senang hati si ibu tersebut membukakan pintu, karena ia mengira yesuslah yang datang ke rumahnya. namun, pada saat pintu telah dibuka, bukan Yesus yang ia lihat melainkan seorang pengemis tua yang datang meminta sedekah. si ibu yang melihat hal itu langsung mengusir pengemis tua itu, katanya " maaf pak saya sedang sibuk menunggu Yesus". lalu si pengemis itu pun pergi.
beberapa saat setelah pengemis itu pergi datanglah seorang anak miskin yang tidak mempunyai apa-apa, datng ke rumah si ibu tersebut untuk meminta makan. dengan sewot ibu tersebut mengusir si anak " pergi kamu ".
tidak lama kemudian setelah anak tersebut pergi, datanglah seorang kakek tua yang miskin, lumpuh, dan lapar datang ke rumah ibu tersebut. dengan kasar pula si ibu mengusir kakek tersebut katanya " pergi, saya sedang menunggu Yesus, saya tidak mau pertemuan saya terganggu apalagi oleh orsang yang seperti anda". lalu sang kakek itu pun pergi.
setelah beberapa lama menunggu, si ibu mulai bosan dan akhirnya menelpon Yesus lagi. " Halo Yesus, kq Yesus tidak datang ke rumah saya?". jawab Yesus, " Aku sudah datang ke rumahmu dalam 3 wujud yang berbeda, namun kamu menolakku".
refleksi, menurut anda seperti apakah rupa Yesus?. apakah beranbut gondrong?, jenggotan? atau apa?. pasti banyak sekali deskripsi anda tentang Yesus. dari cerita di atas terlihat pandangan si ibu akan rupa Yesus hanya sebatas apa yang ia lihat di gereja, atau di gambar-gambar Yesus lainnya. mata si ibu tersebut tertutup akan wujud-wujud Yesus, sebagai seorang hamba, pengemis, anak kecil dan yang lainnya. Sahabat, pernahkah kita merasa rendah hati pada orang banyak?. pernahkah kita memandang orang lain hanya dari penampilannya saja. Sahabat, Yesus datang ke dunia dengan berbagai wujud dan rupa, bisa dalam rupa seorag ayah, ibu, sahabat, pacar, atau bahkan seorang pengemis sekalipun. Tugas kita di dunia adalah tetaplah menjadi rendah hati, kepada siapapun orang yang kita temui di sekitar kita. amin.
fiuh..hari ini gak enak bgt...baru pertama kali gw ngerasa gini. banyak banget aktivitas yang mesti dijalanin dari senin kemarin smpe senin minggu depan. cape. tadi gw ketemu sma anak-anak misdinar paroki gw. anehnya mereka serempak nanya ' lu udh putus bet?', trus bilang 'yah sayang bgt'. gw paling bt klo ditanyain kayak gituan, males jawabnya, tapi gak enak kalo mau dicuekin. gak enak bgt rasanya gini. semua jadi terbatas. gw sama dy dah gak boleh ada hubungan apa-apa lagi. itu kata kk pembimbing misdinar gw. katanya cari yang lain aja. tapi siapa?.males. bt. aneh. tapi buat apa juga disesalin ya?. kan yang milih punya cowo lagi dy, terserah dy dong, kq malah gw yang sewot sih. seharusnya gw bisa seneng dy dah punya cowo lagi. hhahahahaha..jadi inget ada temen gw yang nyeletuk,' yah kalah lu sma ajeng, dy aja udah punya ang lain' ckckckkck..bt.
Sabtu, 05 Juni 2010
Amaterasu disebutkan dalam Kojiki sebagai dewi matahari yang dilahirkan dari Izanagi, yang juga ditemani oleh saudaranya, Susanoo, penguasa badai. Dalam Kojiki, Amaterasu dijabarkan sebagai dewi yang darinya seluruh cahaya berasal, dan jura sering diartikan sebagai dewi matahari karena kehangatannya dan kepeduliannya kepada meraka yang memujanya; sebuah interpretasi dari “cahaya” atau “panas” sebagai semangat, atau kesucian. Ini hampir menyerupai sebuah interpretasi, seiring dengan melihat tindakan saudaranya, Susano'o, dia melarikan diri ke sebuah gua, Ama-no-Iwato dengan malu, memadamkan cahaya yang dipancarkannya dan menjerumuskan dunia dalam kegelapan.
Mengenyampingkan fakta bahwa beberapa daftar interpretasi Amaterasu terpaksa bertindak dalam keadaan malu, tercatat dalam beberapa tempat yang dipicu oleh ketakutannya atas balas dendam dari saudaranya. Menurut satu interpretasi, Amaterasu, ketika dikunjungi saudaranya, merasa takut karena penggunaan kekuatan oleh saudaranya; menggunakan petir dan badai untuk menipu bumi sehingga memudahkan jalannya untuk menemuinya di daratan surga (高天原, Takamagahara), yang kemudian mengakibatkan semua makhluk hidup masuk dalam persembunyiannya.
Seiring dengan melihat penggunaan kekuatan oleh Susano'o, Amaterasu mengambil tindakan berjaga-jaga dan mempersiapkan sebuah busur dan tempat panah di sisinya. Mengenyampingkan fakta bahwa tindakan ini bias dilihat sebagai suatu keputusan yang terburu-buru, untuk menemui Amaterasu, Susano'o bersikukuh untuk menemui ibunya di dunia bawah. Meski demikian, diterangkan bahwa Susano'o takut mengalami kekalahan, begitu dia memahami telah menggangu keadaan dunia bawah, dan itu sangat mungkin bagi Amaterasu khawatir Susano'o telah mengunjungi dunia bawah, dan kembali dalam keadaan puas atau berubah.
Dewa-dewa lain memohon agar dirinya keluat, namun gagal. Kemudian dewi Ama-no-Uzume mempunyai sebuah gagasan. Dia menggantung sebuah cermin (鏡 kagami) di pohon terdekat, menyelenggarakan sebuah perayaan dan menyajikan tarian erotis di depan gua. Tindakan ini membuat dewa-dewa lain tertawa dengan keras membuat Amaterasu menjadi penasaran dan mengintip keluar. Dia melihat bayangan dirinya di cermin, yang mengejutkan dirinya betapa dewa-dewa lain mampu menarik dirinya keluar dan meyakinkan dirinya untuk kembali ke angkasa.
Kemudian dia mengirim cucunya Ninigi-no-Mikoto untuk menenangkan Jepang: buyutnya kemudian menjadi kaisar pertama Kaisar Jimmu. Bersamanya dia memiliki sebuah pedang suci (Kusanagi), permata (Yasakani no magatama) dan cermin (Yata no kagami) yang kemudian menjadi tanda kebesaran kerajaan.
Amaterasu juga dihargai dengan menciptakan pengelolaan beras dan gandum, penggunaan ulat sutra, dan menenun dengan alat tenun. Kuil terpenting miliknya, Kuil Besar di Ise, Jepang di pulau Honshū. Kuil ini dirubuhkan dan dibangun setiap duapuluh tahun. Di kuil itu dia diwakili oleh sebuah cermin, satu dari tiga tanda kebesaran kerajaan Jepang.
Dia dirayakan setiap 17 Juli dengan prosesi jalanan di seluruh negeri. Pesta pada 21 Desember, titik balik matahari musim dingin, merayakan keluarnya dia dari gua.
Sampai terpaksa mengakui kesalahan dalam penyerahan diri diakhir Perang Dunia II, keluarga Kerajaan Jepang menyatakan keturunan dari Amaterasu, dan kaisar secara resmi dianggap sebagai dewa.
Kuil Ise terletak di Semenanjung Ise Peninsula di bagian barat Honshu. Kuil Ise disebutkan sebagai kediaman dari Amaterasu dan kediaman cerminnya. Kuil ini, namun demikian, tertutup untuk umum. (wikipedia.org)
Mengenyampingkan fakta bahwa beberapa daftar interpretasi Amaterasu terpaksa bertindak dalam keadaan malu, tercatat dalam beberapa tempat yang dipicu oleh ketakutannya atas balas dendam dari saudaranya. Menurut satu interpretasi, Amaterasu, ketika dikunjungi saudaranya, merasa takut karena penggunaan kekuatan oleh saudaranya; menggunakan petir dan badai untuk menipu bumi sehingga memudahkan jalannya untuk menemuinya di daratan surga (高天原, Takamagahara), yang kemudian mengakibatkan semua makhluk hidup masuk dalam persembunyiannya.
Seiring dengan melihat penggunaan kekuatan oleh Susano'o, Amaterasu mengambil tindakan berjaga-jaga dan mempersiapkan sebuah busur dan tempat panah di sisinya. Mengenyampingkan fakta bahwa tindakan ini bias dilihat sebagai suatu keputusan yang terburu-buru, untuk menemui Amaterasu, Susano'o bersikukuh untuk menemui ibunya di dunia bawah. Meski demikian, diterangkan bahwa Susano'o takut mengalami kekalahan, begitu dia memahami telah menggangu keadaan dunia bawah, dan itu sangat mungkin bagi Amaterasu khawatir Susano'o telah mengunjungi dunia bawah, dan kembali dalam keadaan puas atau berubah.
Dewa-dewa lain memohon agar dirinya keluat, namun gagal. Kemudian dewi Ama-no-Uzume mempunyai sebuah gagasan. Dia menggantung sebuah cermin (鏡 kagami) di pohon terdekat, menyelenggarakan sebuah perayaan dan menyajikan tarian erotis di depan gua. Tindakan ini membuat dewa-dewa lain tertawa dengan keras membuat Amaterasu menjadi penasaran dan mengintip keluar. Dia melihat bayangan dirinya di cermin, yang mengejutkan dirinya betapa dewa-dewa lain mampu menarik dirinya keluar dan meyakinkan dirinya untuk kembali ke angkasa.
Kemudian dia mengirim cucunya Ninigi-no-Mikoto untuk menenangkan Jepang: buyutnya kemudian menjadi kaisar pertama Kaisar Jimmu. Bersamanya dia memiliki sebuah pedang suci (Kusanagi), permata (Yasakani no magatama) dan cermin (Yata no kagami) yang kemudian menjadi tanda kebesaran kerajaan.
Amaterasu juga dihargai dengan menciptakan pengelolaan beras dan gandum, penggunaan ulat sutra, dan menenun dengan alat tenun. Kuil terpenting miliknya, Kuil Besar di Ise, Jepang di pulau Honshū. Kuil ini dirubuhkan dan dibangun setiap duapuluh tahun. Di kuil itu dia diwakili oleh sebuah cermin, satu dari tiga tanda kebesaran kerajaan Jepang.
Dia dirayakan setiap 17 Juli dengan prosesi jalanan di seluruh negeri. Pesta pada 21 Desember, titik balik matahari musim dingin, merayakan keluarnya dia dari gua.
Sampai terpaksa mengakui kesalahan dalam penyerahan diri diakhir Perang Dunia II, keluarga Kerajaan Jepang menyatakan keturunan dari Amaterasu, dan kaisar secara resmi dianggap sebagai dewa.
Kuil Ise terletak di Semenanjung Ise Peninsula di bagian barat Honshu. Kuil Ise disebutkan sebagai kediaman dari Amaterasu dan kediaman cerminnya. Kuil ini, namun demikian, tertutup untuk umum. (wikipedia.org)
dari yang tak mungkin kini menjadi nyata dihadapanku
Diposting oleh robertus agus pujiantoro di 04.01
sungguh aku tak mengira ia akan mengucapkan kata itu kepadaku..sungguh kata yangmenurut ajaib untuk diucapkan pada orang lain, padahal ia sudah memiliki kekasih sendiri. aku hanya bisa terdiam, tak mampu menjawab apapun juga. aku bingung harus memberikn jawaban apa padanya. aku hanya bilang 'ia'. jawabanku tersebut bisa dibilang menggantung. ia...
apa artinya itu?..dia sudahpunya pasangan sendiri, akupunmasih mengharapkan seseorang kembali ke pelukanku. aku masih menungunya. entah yang ditunggu akan datang atau tidak aku tetap menunggunya. aku masih mempunyai beberapa mimpi-mimpi indah yang ingin aku wujudkan bersamanya. sungguh aku tak mengira ia akan mengucapkan hal itu padaku, aku tak percaya. hari ini aku belajar, persahabatan sejati dapat menimbulkan rasa cinta, bahkan lebih dalam dari apapun juga.
emmm..aku mengerti,,ia hanya sahabatku,,aku menjawab 'ia' karena aku ingin dy tetap menjadi sahabat bagiku, tidak mungkin aku menjawab 'ia' untuk menjadikannya kekasihku. maaf aku hanya menganggapmu sahabatku.
apa artinya itu?..dia sudahpunya pasangan sendiri, akupunmasih mengharapkan seseorang kembali ke pelukanku. aku masih menungunya. entah yang ditunggu akan datang atau tidak aku tetap menunggunya. aku masih mempunyai beberapa mimpi-mimpi indah yang ingin aku wujudkan bersamanya. sungguh aku tak mengira ia akan mengucapkan hal itu padaku, aku tak percaya. hari ini aku belajar, persahabatan sejati dapat menimbulkan rasa cinta, bahkan lebih dalam dari apapun juga.
emmm..aku mengerti,,ia hanya sahabatku,,aku menjawab 'ia' karena aku ingin dy tetap menjadi sahabat bagiku, tidak mungkin aku menjawab 'ia' untuk menjadikannya kekasihku. maaf aku hanya menganggapmu sahabatku.
Kamis, 03 Juni 2010
Apa jadinya hati yang terbagi
Diseparuh perjalananku
Rusaklah sudah cinta putih ini
Keinginan tiada sejalan dengan kenyataan
Betapa ku pasrahkan hidupku
Betapa ku mencintaimu
Tapi apa yang kau beri untukku
Kau tukar dengan luka dan kesakitan (ku)
Reff:
Khianati...
Sebisa dirimu mengkhianati
Karena kupastikan kelak kau minta aku
Untuk kembali padamu lagi
Coda:
Karena kupastikan kelak kau minta aku
Inginkan ku, mohon aku
Untuk kembali padamu
Diseparuh perjalananku
Rusaklah sudah cinta putih ini
Keinginan tiada sejalan dengan kenyataan
Betapa ku pasrahkan hidupku
Betapa ku mencintaimu
Tapi apa yang kau beri untukku
Kau tukar dengan luka dan kesakitan (ku)
Reff:
Khianati...
Sebisa dirimu mengkhianati
Karena kupastikan kelak kau minta aku
Untuk kembali padamu lagi
Coda:
Karena kupastikan kelak kau minta aku
Inginkan ku, mohon aku
Untuk kembali padamu
Senin, 31 Mei 2010
Bagian dari pasal Hukum Alam ini berbunyi kurang lebih sebagai berikut: "Semua peristiwa diciptakan oleh penyebab (the cause) atau kalau dibalik: "peristiwa hanyalah hasil/ akibat (effect)". Sampai pada pengertian ini tidak ada yang merasa sulit memahaminya. Tetapi ketika dikaitkan dengan diri kita dan realita hidup yang kita terima, barulah menjadi persoalan tersendiri. Konon Mark Victor Hansen, pengarang buku berseri Chicken Soup for the Soul harus memutar pertanyaan antara "Are you the cause or the effect?" sebanyak 287 (dua ratus delapan puluh tujuh) kali untuk memastikan pilihan setelah mengalami kebangkrutan bisnis secara total yang memaksanya hidup menggelandang. Ia akhirnya memilih bahwa semua peristiwa hidup (realita) adalah "effect" dan dirinyalah "the cause" itu. Karena Mark yakin bahwa masih banyak individu yang berpikir sebaliknya, maka ia menuangkan pikiran-pikirannya dalam buku tersebut diatas. Karya Mark telah menjadi best seller dan mengantarkannya menerima piala Horatio Alger Award.
Tak syak lagi, kalau kita amati sebenarnya problem hidup Mark adalah representasi dari problem besar umat manusia terlepas apakah hal itu disadari atau tidak sama sekali. Problem tersebut terletak pada penyikapan pilihan. Ada yang memilih bahwa realita yang dihadapi adalah penyebab mengapa dirinya menjadi seperti sekarang ini. Tak terhitung jumlah kejahatan dalam berita TV dari mulai level kecil sampai besar yang diakui oleh pelakunya karena "dipaksa" oleh keadaan. Ungkapan dipaksa dalam berbagai variasinya merupakan indikator bahwa individu tersebut sebenarnya menjadi korban (effect).
Pilihan
Memang tidak akan ada lembaga pengadilan manapun yang memveto hukuman atas pilihan kita antara sebagai the cause atau the effect. Tetapi pilihan kita menciptakan konsekuensi yang sangat membedakan. Kalau kita memilih sebagai the effect, maka penyikapan hidup yang paling dekat adalah adanya resistensi untuk mengubah diri dan berarti telah melawan pasal hukum alam lain lagi bahwa semua kemampuan aktif manusia diperoleh dengan cara menjalani proses pembelajaran (baca: mengubah diri dari ketidakmampuan masa lalu menjadi kemampuan baru). Lebih sering lagi, kesadaran sebagai the effect mudah menyulut kita untuk menyalahkan orang lain dan keadaan ketika effect yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan atau yang diharapkan.
Sementara dengan memilih sebagai the cause, optimalisasi dan kontrol berada di tangan kita. Di level pengetahuan, rasanya tidak sulit menebak kalau dikatakan semua orang ingin menjadi the cause bagi dirinya. Tetapi yang dibutuhkan bukan sekedar mengetahui melainkan apa yang disebut oleh Mark dengan "Awakening Call", sebuah kesadaran baru adanya panggilan untuk mengubah diri dari the effect ke the cause. Kesadaran baru demikian bukanlah anugerah melainkan murni proses pencapaian yang dibarengi dengan menyingkirkan benda-benda yang tidak kita butuhkan tetapi kita abadikan di dalam sehingga benda tersebut benar-benar menjadi penghalang transformasi.
Membiarkan
Salah satu penghalang transformasi kesadaran adalah tembok yang sering diistilah dengan sebutan "Self-excusing". Dari pendapat para pakar ditemukan perbedaan mendasar antara self excusing dengan self-forgiving meskipun sama-sama punya arti literal "memaafkan". Self excusing adalah membiarkan diri anda tak terurusi (letting yourself down), sementara self-forgiving adalah memaafkan dalam arti mengakui kesalahan dan bergerak (moving & acknowledging) untuk membenarkannya (Frank Gilbert: 1999). Dengan kata lain, self-excusing adalah penyikapan yang kurang gagah menghadapi diri atau rasa tidak percaya diri (low self-confidence) mulai dari domain cara pikir (mindset) sampai ke tindakan. Umumnya kita lebih terfokus untuk memasang mekanisme penyerangan agar bisa lebih gagah menghadapi orang lain dan sebaliknya menghadapi diri sendiri sering membuat kita minder. Jadi telah terjadi pemutarbalikan fungsi kegagahan.
Mekanisme self-excusing diungkapkan melalui berbagai macam bentuk mulai dari pemikiran, perasaan, keyakinan, dan tindakan. Sebagian di antaranya dapat disebutkan di sini:
1. Pembenaran Diri
Keinginan kita untuk berubah terhalang oleh keyakinan atas kebenaran sendiri yang berlawaan dengan kebenaran universal (the universal principles). Jika kita meyakini kalau tidak melanggar aturan kita tidak akan hidup maka keyakinan demikian akan membuat kita menjadi korban karena keyakinan itulah yang akan menjadi realita hidup. Padahal peristiwa yang sebenarnya terjadi adalah murni masalah model penyikapan yang kita pilih.
2. Penipuan Diri
Transformasi kesadaan dari the effect ke the cause juga dihalangi oleh mekanisme "politicking" atau menipu diri secara halus. Contoh yang sering dibuktikan oleh realita adalah kemandirian orang cacat (maaf, misalnya orang buta) yang menolak menipu-diri dengan menjalani profesi tertentu seperti ahli pijat, tokoh masyarakat. Logikanya, kalau ada orang cacat fisik bisa mandiri berarti tidak akan ada orang normal yang tidak bisa hidup mandiri. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Mandiri dan tidak mandiri tidak ada hubungan mutlak dengan kenormalan fisik tetapi berhubungan dengan kualitas menolak politiciking. Memanjakan diri juga sering menjebak kita pada praktek politicking di mana kita merasa tidak mampu mengoptimalkan potensi.
3. Perbandingan
Mekanisme perbandingan yang sering menghalangi transformasi adalah perbandingan dalam hal negatif. Begitu kita membandingkan dengan sisi kelemahan/kejelekan orang lain, maka yang muncul adalah semangat untuk membiarkan diri . Perbandingan yang dianjurkan adalah membandingkan keunggulan orang lain dengan diri kita untuk dipelajari. Atau dalam bisnis dikenal dengan istilah kompetisi, bukan kongkurensi
4. Kerelaan Menjadi Korban
Mekanisme yang biasa kita terapkan untuk merelakan-diri adalah menuding orang lain atau keadaan sebagai penyebab yang menghalangi kita menjadi the cause atas diri kita. Biasanya kerelaan ini disebabkan oleh kesalahan membuat kalkulasi ukuran diri dan ukuran masalah yang kita hadapi atau ketidakmampuan mengambil keputusan berdasarkan fakta aktual tentang diri kita (who are we?).
5. Penolakan Tanggung Jawab
Mekanisme menolak adalah pembatas yang kita ciptakan sendiri atau kesengajaan untuk menghentikan perjalanan proses transformasi di dalam diri yang umumnya tidak kita sadari. "Orang miskin seperti saya mana mungkin bisa menjadi kaya". Ungkapan demikian adalah pernyataan-diri bahwa kita dengan demikian tidak dikenai tanggung jawab untuk mengubahnya dan melemparkan tanggung jawab ini kepada orang lain yang kita anggap harus bertanggung jawab.
6. Penolakan Konsekuensi
Apapun yang kita pilih akan melahirkan konsekuensi tertentu yang apabila kita terima dengan pengakuan dan pemahaman akan mendekatkan jarak transformasi dari the effect ke the cause. Tetapi, umumnya kita menciptakan pilihan dan menolak konsekuensi yang muncul kemudian. Kalau kita memilih tidak mau mengembangkan diri, mestinya secara rasional kita merelakan diri dengan konsekuensi ketinggalan, bukan menyalahkan orang lain yang lebih maju. Dengan menolak berarti memperlambat proses transformasi.
7. Kebrutalan
Kebrutalan (dehumanization) adalah mekanisme menolak kebenaran yang diyakini. Orang bisa bertindak brutal kalau dirinya mengunci hati, pendengaran dan penglihatan. Bahkan kebrutalan tersebut akan semakin menjadi-jadi ketika tidak secara cepat dilakukan upaya menarik diri. Mekanisme demikian jelas akan menghalangi proses transformasi kesadaran dari the effect ke the cause.
Evolusi Diri
Self-excusing yang menghalangi kita menyadari sebagai the cause dari realita yang kita terima saat ini merupakan produk yang dihasilkan oleh sejumlah pilihan yang berlangsung sejak kecil tepatnya usia remaja di mana kita baru mulai bersentuhan dengan konflik. Dapat dipastikan, kebanyakan orang memiliki ketujuh hambatan di atas atau lebih, tetapi yang membedakan adalah kandungan kadarnya. Untuk menentukan jumlah kadar yang terberat dibutuhkan penemuan terhadap prinsip hidup (pendirian), nilai/keyakinan, cita-cita yang telah dirumuskan ke dalam tujuan hidup dan posisi di mana kita berada saat ini. Perubahan diri yang tidak diberangkatkan pada aspek kedirian yang mendasar seringkali kalah oleh virus kehidupan yang membuat keinginan berubah dari the effect ke the cause menjadi keinginan umum yang tidak punya nyali.
Adapun alasan mengapa lebih tepat memilih jurus evolusi ketimbang revolusi adalah karena perubahan diri identik dengan perubahan nasib (peristiwa yang secara sirkulatif/repetitif terjadi). Untuk mengubah nasib memang di atas kertas putih membutuhkan dunia baru tetapi pada prakteknya kenyataan sering menunjukkan bahwa hal tersebut tidak membutuhkan perubahan peristiwa eksternal. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan, dunia baru dibutuhkan tetapi bukan syarat mutlak kalau memang tidak bisa dilakukan sekarang ini, tetapi yang mutlak dibutuhkan adalah diri yang baru (sikap, pola pikir dan perilaku baru).
Langkah evolutif yang dapat kita jalankan untuk mengubah diri (menjalankan transformasi kesadaran) adalah:
1. Menyadari
Orang akan tetap mempertahankan diri meskipun salah, jika dirinya tidak sadar bahwa kesalahan itu memang benar-benar salah. Teori manajemen menjelaskan, perubahan harus diawali dengan proses kesadaran membuat identifikasi tentang apa/bagian mana yang kita inginkan untuk diubah dan mengapa perubahan tersebut kita inginkan (baca: alasan paling mengakar). Dalam hal ini perlu kita ingat bahwa kesadaran tersebut harus menyatakan keinginan bukan ketakutan. Jika ini yang terjadi maka yang diketahui seseorang hanyalah bagaimana menghindari kegagalan, bukan meraih kesuksesan.
2. Mengganti
Apa yang telah kita sadari untuk diubah itulah yang harus kita ganti. Begitu kita menyadari adanya godaan untuk menggunakan kebenaran sendiri, segera kita ganti dengan lawannya. Tehnik lain adalah dengan cara challenging (menantang) bahwa kita melawan bentuk keyakinan, pemikiran, dan perasan yang kita yakini salah. Tehnik lain lagi adalah membuat affirmasi secara berulang-ulang (baca: metode dzikir) ketika kesadaran muncul saat dialog-diri berlangsung. Ketiga tehnik ini dapat mempertebal kualitas, apa yang sering disebut "the moment of truth" atau "critical accident" di mana kita memiliki "personal picture" yang lebih jelas seperti yang kita inginkan atau cara pendekatan yang lebih gamblang bagaimana mengubah diri.
3. Mengintrospeksi
Untuk mendeteksi sejauhmana stabilitas transformasi telah berlangsung, maka kita membutuhkan intropeksi. Di sini yang kita lakukan adalah membuat penilaian apa yang sudah diraih dan apalagi yang perlu untuk dilakukan. Di samping itu instropeksi juga berguna untuk mendeteksi kadar self-excusing yang bisa jadi masih tetap bercokol dalam diri kita hanya gara-gara lupa membuat elaborasi, analogi, atau interpretasi dalam memahami dan melaksanakan. Misalnya saja politicking. Kalau praktek yang kita rekam sejelas perbedaan antara orang buta yang mandiri dan orang normal yang tidak mandiri, pikiran kita bisa langsung paham tetapi bagaimana dengan mentalitas "begging" (baca: meminta-minta, bukan meminta) yang di-politicking? Memang diperlukan pengakuan yang jujur untuk berani mengatakan kitalah yang menjadi penyebab "nasib" kita hari ini.
Tak syak lagi, kalau kita amati sebenarnya problem hidup Mark adalah representasi dari problem besar umat manusia terlepas apakah hal itu disadari atau tidak sama sekali. Problem tersebut terletak pada penyikapan pilihan. Ada yang memilih bahwa realita yang dihadapi adalah penyebab mengapa dirinya menjadi seperti sekarang ini. Tak terhitung jumlah kejahatan dalam berita TV dari mulai level kecil sampai besar yang diakui oleh pelakunya karena "dipaksa" oleh keadaan. Ungkapan dipaksa dalam berbagai variasinya merupakan indikator bahwa individu tersebut sebenarnya menjadi korban (effect).
Pilihan
Memang tidak akan ada lembaga pengadilan manapun yang memveto hukuman atas pilihan kita antara sebagai the cause atau the effect. Tetapi pilihan kita menciptakan konsekuensi yang sangat membedakan. Kalau kita memilih sebagai the effect, maka penyikapan hidup yang paling dekat adalah adanya resistensi untuk mengubah diri dan berarti telah melawan pasal hukum alam lain lagi bahwa semua kemampuan aktif manusia diperoleh dengan cara menjalani proses pembelajaran (baca: mengubah diri dari ketidakmampuan masa lalu menjadi kemampuan baru). Lebih sering lagi, kesadaran sebagai the effect mudah menyulut kita untuk menyalahkan orang lain dan keadaan ketika effect yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan atau yang diharapkan.
Sementara dengan memilih sebagai the cause, optimalisasi dan kontrol berada di tangan kita. Di level pengetahuan, rasanya tidak sulit menebak kalau dikatakan semua orang ingin menjadi the cause bagi dirinya. Tetapi yang dibutuhkan bukan sekedar mengetahui melainkan apa yang disebut oleh Mark dengan "Awakening Call", sebuah kesadaran baru adanya panggilan untuk mengubah diri dari the effect ke the cause. Kesadaran baru demikian bukanlah anugerah melainkan murni proses pencapaian yang dibarengi dengan menyingkirkan benda-benda yang tidak kita butuhkan tetapi kita abadikan di dalam sehingga benda tersebut benar-benar menjadi penghalang transformasi.
Membiarkan
Salah satu penghalang transformasi kesadaran adalah tembok yang sering diistilah dengan sebutan "Self-excusing". Dari pendapat para pakar ditemukan perbedaan mendasar antara self excusing dengan self-forgiving meskipun sama-sama punya arti literal "memaafkan". Self excusing adalah membiarkan diri anda tak terurusi (letting yourself down), sementara self-forgiving adalah memaafkan dalam arti mengakui kesalahan dan bergerak (moving & acknowledging) untuk membenarkannya (Frank Gilbert: 1999). Dengan kata lain, self-excusing adalah penyikapan yang kurang gagah menghadapi diri atau rasa tidak percaya diri (low self-confidence) mulai dari domain cara pikir (mindset) sampai ke tindakan. Umumnya kita lebih terfokus untuk memasang mekanisme penyerangan agar bisa lebih gagah menghadapi orang lain dan sebaliknya menghadapi diri sendiri sering membuat kita minder. Jadi telah terjadi pemutarbalikan fungsi kegagahan.
Mekanisme self-excusing diungkapkan melalui berbagai macam bentuk mulai dari pemikiran, perasaan, keyakinan, dan tindakan. Sebagian di antaranya dapat disebutkan di sini:
1. Pembenaran Diri
Keinginan kita untuk berubah terhalang oleh keyakinan atas kebenaran sendiri yang berlawaan dengan kebenaran universal (the universal principles). Jika kita meyakini kalau tidak melanggar aturan kita tidak akan hidup maka keyakinan demikian akan membuat kita menjadi korban karena keyakinan itulah yang akan menjadi realita hidup. Padahal peristiwa yang sebenarnya terjadi adalah murni masalah model penyikapan yang kita pilih.
2. Penipuan Diri
Transformasi kesadaan dari the effect ke the cause juga dihalangi oleh mekanisme "politicking" atau menipu diri secara halus. Contoh yang sering dibuktikan oleh realita adalah kemandirian orang cacat (maaf, misalnya orang buta) yang menolak menipu-diri dengan menjalani profesi tertentu seperti ahli pijat, tokoh masyarakat. Logikanya, kalau ada orang cacat fisik bisa mandiri berarti tidak akan ada orang normal yang tidak bisa hidup mandiri. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Mandiri dan tidak mandiri tidak ada hubungan mutlak dengan kenormalan fisik tetapi berhubungan dengan kualitas menolak politiciking. Memanjakan diri juga sering menjebak kita pada praktek politicking di mana kita merasa tidak mampu mengoptimalkan potensi.
3. Perbandingan
Mekanisme perbandingan yang sering menghalangi transformasi adalah perbandingan dalam hal negatif. Begitu kita membandingkan dengan sisi kelemahan/kejelekan orang lain, maka yang muncul adalah semangat untuk membiarkan diri . Perbandingan yang dianjurkan adalah membandingkan keunggulan orang lain dengan diri kita untuk dipelajari. Atau dalam bisnis dikenal dengan istilah kompetisi, bukan kongkurensi
4. Kerelaan Menjadi Korban
Mekanisme yang biasa kita terapkan untuk merelakan-diri adalah menuding orang lain atau keadaan sebagai penyebab yang menghalangi kita menjadi the cause atas diri kita. Biasanya kerelaan ini disebabkan oleh kesalahan membuat kalkulasi ukuran diri dan ukuran masalah yang kita hadapi atau ketidakmampuan mengambil keputusan berdasarkan fakta aktual tentang diri kita (who are we?).
5. Penolakan Tanggung Jawab
Mekanisme menolak adalah pembatas yang kita ciptakan sendiri atau kesengajaan untuk menghentikan perjalanan proses transformasi di dalam diri yang umumnya tidak kita sadari. "Orang miskin seperti saya mana mungkin bisa menjadi kaya". Ungkapan demikian adalah pernyataan-diri bahwa kita dengan demikian tidak dikenai tanggung jawab untuk mengubahnya dan melemparkan tanggung jawab ini kepada orang lain yang kita anggap harus bertanggung jawab.
6. Penolakan Konsekuensi
Apapun yang kita pilih akan melahirkan konsekuensi tertentu yang apabila kita terima dengan pengakuan dan pemahaman akan mendekatkan jarak transformasi dari the effect ke the cause. Tetapi, umumnya kita menciptakan pilihan dan menolak konsekuensi yang muncul kemudian. Kalau kita memilih tidak mau mengembangkan diri, mestinya secara rasional kita merelakan diri dengan konsekuensi ketinggalan, bukan menyalahkan orang lain yang lebih maju. Dengan menolak berarti memperlambat proses transformasi.
7. Kebrutalan
Kebrutalan (dehumanization) adalah mekanisme menolak kebenaran yang diyakini. Orang bisa bertindak brutal kalau dirinya mengunci hati, pendengaran dan penglihatan. Bahkan kebrutalan tersebut akan semakin menjadi-jadi ketika tidak secara cepat dilakukan upaya menarik diri. Mekanisme demikian jelas akan menghalangi proses transformasi kesadaran dari the effect ke the cause.
Evolusi Diri
Self-excusing yang menghalangi kita menyadari sebagai the cause dari realita yang kita terima saat ini merupakan produk yang dihasilkan oleh sejumlah pilihan yang berlangsung sejak kecil tepatnya usia remaja di mana kita baru mulai bersentuhan dengan konflik. Dapat dipastikan, kebanyakan orang memiliki ketujuh hambatan di atas atau lebih, tetapi yang membedakan adalah kandungan kadarnya. Untuk menentukan jumlah kadar yang terberat dibutuhkan penemuan terhadap prinsip hidup (pendirian), nilai/keyakinan, cita-cita yang telah dirumuskan ke dalam tujuan hidup dan posisi di mana kita berada saat ini. Perubahan diri yang tidak diberangkatkan pada aspek kedirian yang mendasar seringkali kalah oleh virus kehidupan yang membuat keinginan berubah dari the effect ke the cause menjadi keinginan umum yang tidak punya nyali.
Adapun alasan mengapa lebih tepat memilih jurus evolusi ketimbang revolusi adalah karena perubahan diri identik dengan perubahan nasib (peristiwa yang secara sirkulatif/repetitif terjadi). Untuk mengubah nasib memang di atas kertas putih membutuhkan dunia baru tetapi pada prakteknya kenyataan sering menunjukkan bahwa hal tersebut tidak membutuhkan perubahan peristiwa eksternal. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan, dunia baru dibutuhkan tetapi bukan syarat mutlak kalau memang tidak bisa dilakukan sekarang ini, tetapi yang mutlak dibutuhkan adalah diri yang baru (sikap, pola pikir dan perilaku baru).
Langkah evolutif yang dapat kita jalankan untuk mengubah diri (menjalankan transformasi kesadaran) adalah:
1. Menyadari
Orang akan tetap mempertahankan diri meskipun salah, jika dirinya tidak sadar bahwa kesalahan itu memang benar-benar salah. Teori manajemen menjelaskan, perubahan harus diawali dengan proses kesadaran membuat identifikasi tentang apa/bagian mana yang kita inginkan untuk diubah dan mengapa perubahan tersebut kita inginkan (baca: alasan paling mengakar). Dalam hal ini perlu kita ingat bahwa kesadaran tersebut harus menyatakan keinginan bukan ketakutan. Jika ini yang terjadi maka yang diketahui seseorang hanyalah bagaimana menghindari kegagalan, bukan meraih kesuksesan.
2. Mengganti
Apa yang telah kita sadari untuk diubah itulah yang harus kita ganti. Begitu kita menyadari adanya godaan untuk menggunakan kebenaran sendiri, segera kita ganti dengan lawannya. Tehnik lain adalah dengan cara challenging (menantang) bahwa kita melawan bentuk keyakinan, pemikiran, dan perasan yang kita yakini salah. Tehnik lain lagi adalah membuat affirmasi secara berulang-ulang (baca: metode dzikir) ketika kesadaran muncul saat dialog-diri berlangsung. Ketiga tehnik ini dapat mempertebal kualitas, apa yang sering disebut "the moment of truth" atau "critical accident" di mana kita memiliki "personal picture" yang lebih jelas seperti yang kita inginkan atau cara pendekatan yang lebih gamblang bagaimana mengubah diri.
3. Mengintrospeksi
Untuk mendeteksi sejauhmana stabilitas transformasi telah berlangsung, maka kita membutuhkan intropeksi. Di sini yang kita lakukan adalah membuat penilaian apa yang sudah diraih dan apalagi yang perlu untuk dilakukan. Di samping itu instropeksi juga berguna untuk mendeteksi kadar self-excusing yang bisa jadi masih tetap bercokol dalam diri kita hanya gara-gara lupa membuat elaborasi, analogi, atau interpretasi dalam memahami dan melaksanakan. Misalnya saja politicking. Kalau praktek yang kita rekam sejelas perbedaan antara orang buta yang mandiri dan orang normal yang tidak mandiri, pikiran kita bisa langsung paham tetapi bagaimana dengan mentalitas "begging" (baca: meminta-minta, bukan meminta) yang di-politicking? Memang diperlukan pengakuan yang jujur untuk berani mengatakan kitalah yang menjadi penyebab "nasib" kita hari ini.
Minggu, 30 Mei 2010
Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi sampaikan padanya
Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya
Reff:
Tahukah engkau wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya
Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi sampaikan padanya
Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya
Reff:
Tahukah engkau wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya
Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan
gw bngung dlu gw pacaran ma dy,,dy kayaknya selalu ada orang lain di hatinya,,gak cma bwt gw...
pertama dy pernah bilang...dy sayang ma mantannya yg pertama...kedua ma drian...ketiga ini pling menyakitkan bwt gw,,sahabat gw sendiri...
emang gw ngerti,,gw gak punya hak bwt ngatur" kehidupannya dy...gw gak bsa nyuruh dy sayang cma sama gw...
gw ngerti itu kq..
skrg seandainya dy emang sayang ma sahabat gw,,gw bkal bantuin dy,,
gw juga gak akan ngerebut dy,,klo mreka dah jadian..gak perlu,,
erik sahabat gw,,gw gak mw nyakitin seorang sahabat lagi...
susah cari sahabat...
klo seandainya dy bneran sayang ya,,gw yang bakal mundur..gw gak bkal ganggu mereka,,walaupun gw sayang sama dy,,
pertama dy pernah bilang...dy sayang ma mantannya yg pertama...kedua ma drian...ketiga ini pling menyakitkan bwt gw,,sahabat gw sendiri...
emang gw ngerti,,gw gak punya hak bwt ngatur" kehidupannya dy...gw gak bsa nyuruh dy sayang cma sama gw...
gw ngerti itu kq..
skrg seandainya dy emang sayang ma sahabat gw,,gw bkal bantuin dy,,
gw juga gak akan ngerebut dy,,klo mreka dah jadian..gak perlu,,
erik sahabat gw,,gw gak mw nyakitin seorang sahabat lagi...
susah cari sahabat...
klo seandainya dy bneran sayang ya,,gw yang bakal mundur..gw gak bkal ganggu mereka,,walaupun gw sayang sama dy,,
Kamis, 27 Mei 2010
Rabu, 26 Mei 2010
I was born in the arms of imaginary friends
Free to roam made a home out of everywhere I’ve been
Then you come crashing in, like the realest thing
Trying my best to understand, all that your love can bring
half of my heart has a grip on the situation
Half of my heart takes time
Half of my heart has a right mind to tell you that
I can’t keep loving you
with half of my heart
I was made to believe I’d never love somebody else
Made a plan stay the man who could only love himself
Lonely was the song I sang, til the day you came
Showing my another way, and all that my love can bring
half of my hearts got a grip on the situation
Half of my heart takes time
Half of my heart has a right mind to tell you that
I can’t keep loving you (can’t keep loving you)
with half of my heart, with half of my heart
Your faith is strong, but I can only fall short for so long
Down the road, later on
You will hate that I never gave more to you
Then half of my heart
But I can’t stop loving you(I can’t stop loving you)
I can’t stop loving you(I can’t stop loving you)
I can’t stop loving you, with half of my heart
half of my heart
Half of my heart
Half of my heart has a real good imagination
Half of my hearts got you
Half of my hearts got a right mind to tell you that
Half of my heart won’t do
Half of my heart in a shotgun wedding
To a bride with a paper ring
But half of my heart is the part of a man
Whose never truly loved anything
Free to roam made a home out of everywhere I’ve been
Then you come crashing in, like the realest thing
Trying my best to understand, all that your love can bring
half of my heart has a grip on the situation
Half of my heart takes time
Half of my heart has a right mind to tell you that
I can’t keep loving you
with half of my heart
I was made to believe I’d never love somebody else
Made a plan stay the man who could only love himself
Lonely was the song I sang, til the day you came
Showing my another way, and all that my love can bring
half of my hearts got a grip on the situation
Half of my heart takes time
Half of my heart has a right mind to tell you that
I can’t keep loving you (can’t keep loving you)
with half of my heart, with half of my heart
Your faith is strong, but I can only fall short for so long
Down the road, later on
You will hate that I never gave more to you
Then half of my heart
But I can’t stop loving you(I can’t stop loving you)
I can’t stop loving you(I can’t stop loving you)
I can’t stop loving you, with half of my heart
half of my heart
Half of my heart
Half of my heart has a real good imagination
Half of my hearts got you
Half of my hearts got a right mind to tell you that
Half of my heart won’t do
Half of my heart in a shotgun wedding
To a bride with a paper ring
But half of my heart is the part of a man
Whose never truly loved anything
entah apa yang kurasakan saat ini. Perasaanku seperti dimainkan oleh seseorang, seseorang yang kucintai sejak aku kecil, belum bisa berjalan. Entah mengapa aku merasakan hal itu. Pertemuan singkat yang membuatku harus berpikir 1000 kali lagi untuk mengubah keputusanku, kata singkat yang terlontar darinya membuatku enggan tuk melakukan sesuatu apapun. entah apa yang terjadi pada diriku. Aku terpatri dalam galau yang tiada henti, dalam fatamorgana yang tiada kunjung ujungnya. Aku terjebak dalam fatamorgana dari pikiranku, terjebak dalam penjara batin yang terus bertengkar dan meneriakan argumen masing masing. tidak ada yang mengalah, tidak ada yang kalah. Aku hanya diam menyaksikan pertempuran rasa dan asa, aku tak mampu melerai bahkan mendekati keduanya.
Aku masih terdiam di tengah pertempuran batinku, menunggu siapa yang akan menang dari keduanya, menunggu tanpa bicara apa-apa.
Aku masih terdiam di tengah pertempuran batinku, menunggu siapa yang akan menang dari keduanya, menunggu tanpa bicara apa-apa.
Kehilangan Perspektif
Praktek hidup sedikitnya mengenal dua bentuk permusuhan, yaitu permusuhan lahir / fisik (fisik dalam arti kelihatan dan fisik dalam arti kekerasan dengan menggunakan "akal") dan permusuhan batin / non-fisik atau bentuk permusuhan yang tidak kelihatan secara nyata. Bentuk permusuhan pertama memang perlu juga diwaspadai tetapi ini biasanya terjadi dengan sepengetahuan kita. Di samping itu, ada banyak instrumen eksternal yang membantu kita untuk meredamnya dan kalau dilihat dari sisi jumlah secara keseluruhan, memang agak terbatas.
Bentuk permusuhan yang terkadang kita lakukan di luar pengetahuan dan kesadaran kita dan tidak ada instrumen eksternal yang membatasinya serta jumlahnya tak terbatas adalah bentuk permusuhan kedua yang terjadi antara kita dengan orang yang hampir setiap hari kita ajak berinteraksi, entah itu soal pekerjaan, sekolahan, keluarga dan lain-lain. Mungkin inilah satu dari sekian "dark-side" (sisi buruk) dari hubungan yang dekat. Karena itu, ada pesan yang patut kita renungkan tentang hubungan yang dekat, yaitu: jangan-jangan hubungan kita itu hanya "diduga" bersatu padahal bersiteru, jangan-jangan hanya kelihatannya saja kita ini akrab padahal tidak, jangan-jangan hanya di luarnya saja baik tetapi di dalamnya tidak, dan seterusnya.
Bagaimana ini terjadi? Ada yang perlu kita jadikan semacam rujukan yang bisa menjelaskan tentang bagaimana asal-usul permusuhan batin itu muncul di dalam diri kita. Kalau merujuk pada hasil kajian Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996), kira-kira asal-usul itu bisa dijelaskan sebagai berikut:
*
Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada diri orang lain
*
Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
*
Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
*
Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi)
*
Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.
Itu hanya salah satu dari sekian proses atau asal-usul yang bisa dijelaskan di sini. Intinya, apa yang bisa kita pahami tentang permusuhan batin dalam praktek hidup itu adalah ketika kita sudah kehilangan perspektif atas orang lain sebagai akibat dari akumulasi perasaan atau penilaian negatif. Kita hanya mampu melihat hal yang jelek-jeleknya saja atau hal-hal yang pantas dimusuhi saja atau malah kita kehilangan keadilan dalam menilai.
Mengapa Perlu Diwaspadai?
Jika ini dikaitkan dengan upaya kita untuk meningkatkan prestasi di bidang pilihan kita, entah itu pekerjaan, usaha, akademik, dan lain-lain, maka ada sedikitnya tiga alasan mendasar yang layak untuk diingat, yaitu:
1. Sasaran fokus
Kalau dipukul rata bisa dikatakan bahwa semua orang yang pergi ke tempat kerja, ke sekolah / kampus atau ke tempat usaha, memiliki tujuan yang bagus, dari mulai mencari nafkah, mencerdaskan diri, meningkatkan prestasi dan seterusnya. Namun sayang dalam prakteknya, fokus kita melenceng pada orang yang tidak kita suka / kita musuhi, bukan pada sasaran utama kita - untuk mengejar cita-cita. Akibatnya, sasaran kita jadi terlantar.
Ada saatnya untuk patut curiga, jangan-jangan ketidak-optimalan kita mencapai sasaran itu bukan karena kita tidak mampu tetapi karena kita jarang memikirkannya. Jangan-jangan pikiran kita lebih sering kita gunakan mengurusi orang lain yang kita musuhi ketimbang orang lain yang baik sama kita. Secara umum mungkin kita perlu menjadikan ungkapan Robert McKain sebagai bahan renungan: "Alasan mengapa kita sering gagal, karena kita telah menggunakan waktu kita untuk mengerjakan hal-hal yang kurang utama bagi sasaran kita".
Menurut pengalaman Bruce Lee, mewujudkan sasaran atau tujuan, menuntut upaya batin dalam mengerahkan fokus pada sasaran seperti sinar laser. Fokus pada sasaran seperti sinar laser ini bukan hanya akan membuat kita melupakan permusuhan batin yang kita buat sendiri, melainkan bisa membuat kita terkadang lupa sarapan, seperti yang diungkapkan oleh Charles Schewabb.
2. Praktek Reaktif
Kalau boleh didefinisikan, praktek reaktif adalah tindakan yang didasari oleh dorongan eksternal (stimuli) yang tidak lagi kita saring menurut tujuan, sasaran, atau kebutuhan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sering dicontohkan bahwa di sana ada banyak orang yang membangun rumah atau membeli barang-barang rumah tangga bukan karena memang itu dibutuhkan tetapi karena tetangganya membeli.
Jika dijelaskan menurut Teori Logika, praktek demikian lahir dari keputusan reaktif yang biasanya didorong oleh keinginan asal-beda, asal tidak kelihatan kalah, supaya bisa kelihatan lebih unggul dari orang lain, dan lain-lain. Menurut Teori itu, keinginan demikian sangat berpotensi melahirkan keputusan yang salah dalam praktek atau minimalnya (meminjam istilah Stephen Covey) melahirkan kebiasaan hidup tidak efektif. Kita melakukan sesuatu bukan atas dasar tujuan, sasaran, kebutuhan, keinginan dan keuntungan kita, melainkan atas keinginan supaya bisa mengalahkan atau supaya tidak kelihatan kalah. Praktek demikian tentu sulit dipisahkan dari permusuhan batin yang kita buat sendiri.
Harus diakui bahwa terkadang keinginan demikian sulit dihindari dan mungkin terkadang dibutuhkan.Tetapi jika kadarnya sudah berlebihan dan kita menempati posisi sebagai pihak yang dikuasai hawa nafsu, maka dampak buruk tak dapat dielakkan.
Kita diajarkan untuk memasuki wilayah persaingan (kompetisi) karena di sini merupakan wadah mengasah keunggulan. Tetapi yang tidak boleh kita lakukan adalah permusuhan atau persaingan yang tidak sehat (kongkurensi, to conquer, menaklukkan).
3. Burn-out
Merujuk pada penjelasan Henry Neil dalam "13 Signs of Burnout and How To Help You Avoid It" (IAN, International Assessment Network and MAPP: 2003), burn-out adalah virus yang menyerang kita sampai membuat kita kehilangan motivasi, kehilangan inspirasi, dan kehilangan jurus dalam beraksi, "missing-action", entah itu berkaitan dengan karir, usaha, olahraga atau kegiatan akademik.
Apa yang menyebabkan kita terkadang seperti seorang penyair yang kehabisan kata-kata? Tentu sebab-sebabnya tidak bisa didetailkan satu persatu dalam tulisan tetapi salah satunya yang perlu diaudit adalah adanya bentuk permusuhan batin yang tidak kita hentikan atau yang kita biarkan. Karena itu Danien Goleman yang kita kenal telah banyak menaruh perhatian di bidang Kecerdasan Emosional menjelaskan bahwa orang yang menolak mencerdaskan emosinya akan mendapatkan dampak buruk yang antara lain adalah (Emotional Intelligence And You, Doug Gray, Action Learning Associates, Inc. 2001 - 2005 ):
1.
Mudah dibikin kalut oleh perubahan buruk
2.
Kurang mampu bekerjasama, mudah patah dalam menjalin hubungan dengan orang lain
3.
Sering terputus hubungan dengan diri sendiri akhirnya gampang kalap
4.
Mudah terserang virus yang bernama "burn-out"
5.
Mudah terkena "over" antara: mudah kebablasan atau terlalu hati-hati)
Harus diakui memang bahwa untuk memiliki kemampuan memfokus pada tujuan seperti sinar laser, untuk membiasakan praktek proaktif, dan untuk melangkah secara lancar (tanpa burn-out), tidak bisa diwujudkan dengan hanya menghilangkan permusuhan batin semata tetapi ketika permusuhan batin ini tidak kita hentikan, maka keberadaannya akan mengganggu fokus, kelancaran dan praktek kita.
Pembelajaran
Satu dari sekian jurus yang bisa kita pilih untuk menghentikan permusuhan batin adalah berikut ini:
1. Cepat mengingat / menyadari tujuan
Prakteknya sering membuktikan bahwa tujuan itu tidak cukup hanya diingat sekali atau hanya ditulis sekali di agenda. Banyak praktek yang menyimpang dari tujuan hanya disebabkan oleh faktor lupa dalam arti tidak sadar atau tidak "eling". Karena itu banyak pakar SDM yang menyarankan agar kita menulis tujuan itu di tempat-tempat yang sering kita lihat, seperti di buku agenda, di file komputer atau di meja kerja. Bahkan ada yang menyarakan supaya tujuan itu diungkapkan dalam bentuk gambar agar otak kanan kita juga bisa bekerja dan mudah diingat.
2. Membuat pembatas (personal boundaries)
Satu hal yang perlu disadari bahwa kalau kita melihat permusuhan batin ini dari sisi orang lain, tentulah tidak akan ada habisnya. Ada beberapa hal dari orang lain yang bisa kita kontrol atau bisa kita cegah atau bisa kita ajak kompromi untuk menghindari permusuhan batin tetapi ini tidak mungkin semuanya.
Karena itu, yang bisa kita lakukan adalah membuat pembatas di dalam diri kita yang menjelaskan tentang apa saja dari orang lain yang bisa kita beri toleransi, apa saja yang tak penting untuk dipikirkan atau diurusi, dan apa saja yang perlu dibicarakan. Membuat pembatas ini bukan untuk membatasi orang lain tetapi untuk membatasi diri kita sendiri agar jangan sampai sedikit-sedikit kita terpancing untuk bermusuhan secara batin dengan standar dan alasan yang tidak jelas dan tidak substansial.
3. Mengedepankan manfaat (advantages)
Kerapkali terjadi bahwa salah satu faktor yang memperpanjang durasi permusuhan, entah itu lahir atau batin, adalah karena cara berpikir kita yang dualisme, siapa yang benar dan siapa yang salah. Lebih-lebih lagi, meminjam istilah Paulo Coelho, ketika keduanya sama-sama merasa mendapatkan dukungan dari Tuhan.
Kalau kita sudah bicara siapa, maka di dunia ini siapa yang paling benar adalah kita dengan seperangkat alasan yang kita miliki dan begitu juga dengan orang lain. Karena itu Stephen Covey pernah menjelaskan bahwa jika siapa yang benar itu diadu antara milik kita dengan milik orang lain, maka yang terjadi adalah permusuhan, perang, dan pertahanan egoisme kebenaran-sendiri.
Untuk mengatasi hal ini maka salah satu pilar peradaban manusia mengajak kita untuk menggunakan pola berpikir yang berasaskan pada "apa manfaatnya" atau "apa yang benar" bukan "siapa yang benar". Apa yang benar adalah sedangkan siapa yang benar adalah "the good". Seringkali yang menghalangi kita mendapatkan the best adalah karena kita lebih sering mempertahankan the good menurut versi kita.
Praktek hidup sedikitnya mengenal dua bentuk permusuhan, yaitu permusuhan lahir / fisik (fisik dalam arti kelihatan dan fisik dalam arti kekerasan dengan menggunakan "akal") dan permusuhan batin / non-fisik atau bentuk permusuhan yang tidak kelihatan secara nyata. Bentuk permusuhan pertama memang perlu juga diwaspadai tetapi ini biasanya terjadi dengan sepengetahuan kita. Di samping itu, ada banyak instrumen eksternal yang membantu kita untuk meredamnya dan kalau dilihat dari sisi jumlah secara keseluruhan, memang agak terbatas.
Bentuk permusuhan yang terkadang kita lakukan di luar pengetahuan dan kesadaran kita dan tidak ada instrumen eksternal yang membatasinya serta jumlahnya tak terbatas adalah bentuk permusuhan kedua yang terjadi antara kita dengan orang yang hampir setiap hari kita ajak berinteraksi, entah itu soal pekerjaan, sekolahan, keluarga dan lain-lain. Mungkin inilah satu dari sekian "dark-side" (sisi buruk) dari hubungan yang dekat. Karena itu, ada pesan yang patut kita renungkan tentang hubungan yang dekat, yaitu: jangan-jangan hubungan kita itu hanya "diduga" bersatu padahal bersiteru, jangan-jangan hanya kelihatannya saja kita ini akrab padahal tidak, jangan-jangan hanya di luarnya saja baik tetapi di dalamnya tidak, dan seterusnya.
Bagaimana ini terjadi? Ada yang perlu kita jadikan semacam rujukan yang bisa menjelaskan tentang bagaimana asal-usul permusuhan batin itu muncul di dalam diri kita. Kalau merujuk pada hasil kajian Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996), kira-kira asal-usul itu bisa dijelaskan sebagai berikut:
*
Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada diri orang lain
*
Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
*
Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
*
Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi)
*
Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.
Itu hanya salah satu dari sekian proses atau asal-usul yang bisa dijelaskan di sini. Intinya, apa yang bisa kita pahami tentang permusuhan batin dalam praktek hidup itu adalah ketika kita sudah kehilangan perspektif atas orang lain sebagai akibat dari akumulasi perasaan atau penilaian negatif. Kita hanya mampu melihat hal yang jelek-jeleknya saja atau hal-hal yang pantas dimusuhi saja atau malah kita kehilangan keadilan dalam menilai.
Mengapa Perlu Diwaspadai?
Jika ini dikaitkan dengan upaya kita untuk meningkatkan prestasi di bidang pilihan kita, entah itu pekerjaan, usaha, akademik, dan lain-lain, maka ada sedikitnya tiga alasan mendasar yang layak untuk diingat, yaitu:
1. Sasaran fokus
Kalau dipukul rata bisa dikatakan bahwa semua orang yang pergi ke tempat kerja, ke sekolah / kampus atau ke tempat usaha, memiliki tujuan yang bagus, dari mulai mencari nafkah, mencerdaskan diri, meningkatkan prestasi dan seterusnya. Namun sayang dalam prakteknya, fokus kita melenceng pada orang yang tidak kita suka / kita musuhi, bukan pada sasaran utama kita - untuk mengejar cita-cita. Akibatnya, sasaran kita jadi terlantar.
Ada saatnya untuk patut curiga, jangan-jangan ketidak-optimalan kita mencapai sasaran itu bukan karena kita tidak mampu tetapi karena kita jarang memikirkannya. Jangan-jangan pikiran kita lebih sering kita gunakan mengurusi orang lain yang kita musuhi ketimbang orang lain yang baik sama kita. Secara umum mungkin kita perlu menjadikan ungkapan Robert McKain sebagai bahan renungan: "Alasan mengapa kita sering gagal, karena kita telah menggunakan waktu kita untuk mengerjakan hal-hal yang kurang utama bagi sasaran kita".
Menurut pengalaman Bruce Lee, mewujudkan sasaran atau tujuan, menuntut upaya batin dalam mengerahkan fokus pada sasaran seperti sinar laser. Fokus pada sasaran seperti sinar laser ini bukan hanya akan membuat kita melupakan permusuhan batin yang kita buat sendiri, melainkan bisa membuat kita terkadang lupa sarapan, seperti yang diungkapkan oleh Charles Schewabb.
2. Praktek Reaktif
Kalau boleh didefinisikan, praktek reaktif adalah tindakan yang didasari oleh dorongan eksternal (stimuli) yang tidak lagi kita saring menurut tujuan, sasaran, atau kebutuhan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sering dicontohkan bahwa di sana ada banyak orang yang membangun rumah atau membeli barang-barang rumah tangga bukan karena memang itu dibutuhkan tetapi karena tetangganya membeli.
Jika dijelaskan menurut Teori Logika, praktek demikian lahir dari keputusan reaktif yang biasanya didorong oleh keinginan asal-beda, asal tidak kelihatan kalah, supaya bisa kelihatan lebih unggul dari orang lain, dan lain-lain. Menurut Teori itu, keinginan demikian sangat berpotensi melahirkan keputusan yang salah dalam praktek atau minimalnya (meminjam istilah Stephen Covey) melahirkan kebiasaan hidup tidak efektif. Kita melakukan sesuatu bukan atas dasar tujuan, sasaran, kebutuhan, keinginan dan keuntungan kita, melainkan atas keinginan supaya bisa mengalahkan atau supaya tidak kelihatan kalah. Praktek demikian tentu sulit dipisahkan dari permusuhan batin yang kita buat sendiri.
Harus diakui bahwa terkadang keinginan demikian sulit dihindari dan mungkin terkadang dibutuhkan.Tetapi jika kadarnya sudah berlebihan dan kita menempati posisi sebagai pihak yang dikuasai hawa nafsu, maka dampak buruk tak dapat dielakkan.
Kita diajarkan untuk memasuki wilayah persaingan (kompetisi) karena di sini merupakan wadah mengasah keunggulan. Tetapi yang tidak boleh kita lakukan adalah permusuhan atau persaingan yang tidak sehat (kongkurensi, to conquer, menaklukkan).
3. Burn-out
Merujuk pada penjelasan Henry Neil dalam "13 Signs of Burnout and How To Help You Avoid It" (IAN, International Assessment Network and MAPP: 2003), burn-out adalah virus yang menyerang kita sampai membuat kita kehilangan motivasi, kehilangan inspirasi, dan kehilangan jurus dalam beraksi, "missing-action", entah itu berkaitan dengan karir, usaha, olahraga atau kegiatan akademik.
Apa yang menyebabkan kita terkadang seperti seorang penyair yang kehabisan kata-kata? Tentu sebab-sebabnya tidak bisa didetailkan satu persatu dalam tulisan tetapi salah satunya yang perlu diaudit adalah adanya bentuk permusuhan batin yang tidak kita hentikan atau yang kita biarkan. Karena itu Danien Goleman yang kita kenal telah banyak menaruh perhatian di bidang Kecerdasan Emosional menjelaskan bahwa orang yang menolak mencerdaskan emosinya akan mendapatkan dampak buruk yang antara lain adalah (Emotional Intelligence And You, Doug Gray, Action Learning Associates, Inc. 2001 - 2005 ):
1.
Mudah dibikin kalut oleh perubahan buruk
2.
Kurang mampu bekerjasama, mudah patah dalam menjalin hubungan dengan orang lain
3.
Sering terputus hubungan dengan diri sendiri akhirnya gampang kalap
4.
Mudah terserang virus yang bernama "burn-out"
5.
Mudah terkena "over" antara: mudah kebablasan atau terlalu hati-hati)
Harus diakui memang bahwa untuk memiliki kemampuan memfokus pada tujuan seperti sinar laser, untuk membiasakan praktek proaktif, dan untuk melangkah secara lancar (tanpa burn-out), tidak bisa diwujudkan dengan hanya menghilangkan permusuhan batin semata tetapi ketika permusuhan batin ini tidak kita hentikan, maka keberadaannya akan mengganggu fokus, kelancaran dan praktek kita.
Pembelajaran
Satu dari sekian jurus yang bisa kita pilih untuk menghentikan permusuhan batin adalah berikut ini:
1. Cepat mengingat / menyadari tujuan
Prakteknya sering membuktikan bahwa tujuan itu tidak cukup hanya diingat sekali atau hanya ditulis sekali di agenda. Banyak praktek yang menyimpang dari tujuan hanya disebabkan oleh faktor lupa dalam arti tidak sadar atau tidak "eling". Karena itu banyak pakar SDM yang menyarankan agar kita menulis tujuan itu di tempat-tempat yang sering kita lihat, seperti di buku agenda, di file komputer atau di meja kerja. Bahkan ada yang menyarakan supaya tujuan itu diungkapkan dalam bentuk gambar agar otak kanan kita juga bisa bekerja dan mudah diingat.
2. Membuat pembatas (personal boundaries)
Satu hal yang perlu disadari bahwa kalau kita melihat permusuhan batin ini dari sisi orang lain, tentulah tidak akan ada habisnya. Ada beberapa hal dari orang lain yang bisa kita kontrol atau bisa kita cegah atau bisa kita ajak kompromi untuk menghindari permusuhan batin tetapi ini tidak mungkin semuanya.
Karena itu, yang bisa kita lakukan adalah membuat pembatas di dalam diri kita yang menjelaskan tentang apa saja dari orang lain yang bisa kita beri toleransi, apa saja yang tak penting untuk dipikirkan atau diurusi, dan apa saja yang perlu dibicarakan. Membuat pembatas ini bukan untuk membatasi orang lain tetapi untuk membatasi diri kita sendiri agar jangan sampai sedikit-sedikit kita terpancing untuk bermusuhan secara batin dengan standar dan alasan yang tidak jelas dan tidak substansial.
3. Mengedepankan manfaat (advantages)
Kerapkali terjadi bahwa salah satu faktor yang memperpanjang durasi permusuhan, entah itu lahir atau batin, adalah karena cara berpikir kita yang dualisme, siapa yang benar dan siapa yang salah. Lebih-lebih lagi, meminjam istilah Paulo Coelho, ketika keduanya sama-sama merasa mendapatkan dukungan dari Tuhan.
Kalau kita sudah bicara siapa, maka di dunia ini siapa yang paling benar adalah kita dengan seperangkat alasan yang kita miliki dan begitu juga dengan orang lain. Karena itu Stephen Covey pernah menjelaskan bahwa jika siapa yang benar itu diadu antara milik kita dengan milik orang lain, maka yang terjadi adalah permusuhan, perang, dan pertahanan egoisme kebenaran-sendiri.
Untuk mengatasi hal ini maka salah satu pilar peradaban manusia mengajak kita untuk menggunakan pola berpikir yang berasaskan pada "apa manfaatnya" atau "apa yang benar" bukan "siapa yang benar". Apa yang benar adalah sedangkan siapa yang benar adalah "the good". Seringkali yang menghalangi kita mendapatkan the best adalah karena kita lebih sering mempertahankan the good menurut versi kita.
Langganan:
Postingan (Atom)